THE LIGHT OF AL-QUR'AN

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

MY SCHOOL LAST TIME

MY PHOTOS

Kamis, 13 Desember 2007

JIHAD DALAM PERSPEKTIF ISLAM



Kebajikan dan keburukan sama-sama bersanding dalam jiwa setiap manusia. Allah mengilhami jiwa manusia dengan kedurhakaan dan ketakwaan. Begitu firman Allah dalam surat Asy-Syams ayat 8, yang artinya: "Diri manusia memiliki potensi kebaikan dan keburukan". Seperti itu jugalah sifat masyarakat dan negara yang terdiri dari banyak individu. Keburukan mendorong pada kesewenang-wenangan, sedangkan kebajikan mengantarkan pada keharmonisan. Saat terjadi kesewenang-wenangan, kebajikan berseru dan merintih untuk mencegahnya. Dari sanalah perjuangan, baik di tingkat individu maupun di tingkat masyarakat dan negara. Demikian itulah ketetapan ilahi. Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. Sekiranya hendak membuat suatu permainan, tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki berbuat demikian (tentulah Kami telah melakukannya). Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaan bagi kamu menyifati (Allah dengan sifat yang tidak layak). (QS Al-Anbiya' [21]: 16-18). Islam datang membawa nilai-nilai kebaikan dan menganjurkan manusia agar menghiasi diri dengannya, serta memerintahkan manusia agar memperjuangkannya hingga mengalahkan kebatilan. Atau seperti bunyi ayat di atas, melontarkan yang hak kepada yang batil hingga mampu menghancurkannya. Tapi hal itu tak dapat terlaksana dengan sendirinya, kecuali melalui perjuangan. Bumi adalah gelanggang perjuangan (jihad) menghadapi musuh. Karena itu, al-jihad madhin ila yaum al-qiyamah (perjuangan berlanjut hingga hari kiamat). Istilah Al-Quran untuk menunjukkan perjuangan adalah kata jihad. Sayangnya, istilah ini sering disalahpahami atau dipersempit artinya.

Bagi sebagian kalangan, pemahaman jihad kelihatan menakutkan. Apalagi dengan berbagai komentar yang terkesan menyudutkan, terutama seputar pengertian atau esensi jihad. Tulisan ini tidak memberikan komentar secara langsung tentang jihad, tapi lebih dititikberatkan kepada pemahaman tentang jihad itu sendiri. Tentu saja dalam perspektif Islam.

A. Pengertian Jihad Secara Bahasa
Al-Jihaad adalah Masdar dari fi'il Ruba'iy: Jaahada berdasarkan wazan fi'il yang bermakna Al-Mufaa'alatu min Thorfayin (Saling berbuat dari kedua belah pihak) seperti perkataan Al-Jidal yang bermakna Al-Mujaadalah masdar dari perkataan Jaadal . Dari fi'il Thulathi bagi perkataan Jihad adalah Jahida masdarnya Al-Jahdu artinya At-Thooqot (kekuatan), dan masdarnya Al-Juhdu artinya Al-Masyaqqot (jerih payah).

Dan didalam Lisanul Arab: dikatakan Al-Jahdu (Al-Jahd) artinya Al-Masyaqqot (jerih payah), dan Al-Juhdu (Al-Juhd) artinya At-Thooqot (kekuatan). Dan dalam Lisanul Arab juga terdapat perkataan Al-Jihaad maknanya: Istifrooghu maa fiil wus'i wattooqoti min qaulin aw fi'li (Mencurahkan segenap tenaga dan kekuatan baik berupa Ucapan maupun Perbuatan).
Penulis Munjid mengatakan: Jaahada Mujaahadatan wa Jihaadan artinya Badzala wus'ah (Mengerahkan tenaganya) dan asalnya: Badzala kullum minhumaa juhdahu fii daf'i shohibih (Masing-masing di antara keduanya mengerahkan kekuatannya dalam menolak pasangannya).

Dan didalam tafsir An-Naisabury: Dan yang shahih sesungguhnya Al-Jihaad adalah Badzlul Majhuudi fii Husuulil Maqshoudi (mengerahkan segala jerih payah untuk mencapai tujuan).
Dari beberapa makna bahasa diatas dapat diperoleh Ta'rif Lughowi yang merupakan hakikat lughowiyyah bagi perkataan Al-Jihaad yaitu: Al-Jihaadu Huwa Istifrooghul Wus'i fiil Mudaafa'ati Bayna Thorofaina Walau Taqdiiroon "Jihad adalah pengerahan kekuatan yang didalamnya saling tolak menolak antara dua kutub walaupun pada takdirnya (bukan pada zahirnya)."

Yang dimaksud dengan takdirnya ialah Jihadul Ihsan terhadap dirinya, yaitu: bahwa di dalam diri manusia itu ada dua kutub, ketika kedua keinginan yang saling berlawanan bertemu di dalam dirinya, maka masing masing berjihad untuk mengalahkan yang lain.

B. Pengertian Jihad Secara Istilah/Syara
"Bahwasanya Jihad itu jika dinyatakan secara mutlak tanpa qayyid maksudnya adalah Qital (Perang) dan mengerahkan kemampuan daripadanya untuk meninggikan kalimatullah. Dan ta'rif Jihad yang lebih mendasar dan lebih mencakup adalah yang dinyatakan dalam Mazhab Hanafi yaitu: "Mencurahkan kemampuan dan kekuatan dengan berperang di jalan Allah SWT, dengan jiwa, harta dan lisan dan selain itu." (Al-Kisani, Badai'u Ash-Shanai'i 9/4299).
Ibnu Rusyd mengatakan: "Setiap orang yang meletihkan dirinya di dalam mentaati Allah, maka sungguh ia telah berjihad di jalanNya, kecuali bahawasanya perkataan 'Jihad fie Sabilillah' bila dinyatakan secara mutlak, maka dengan kemutlakannya itu tidak dapat diartikan selain dari: "Memerangi orang orang kafir dengan pedang, hingga mereka masuk kedalam agama Islam atau membayar Jizyah dari tangan mereka, sedang mereka dalam keadaan hina." (Muqaddimah Ibnu Rusyd 1/369).

Dan perkataan 'fie Sabilillah' jika dinyatakan secara mutlak atas sesuatu perbuatan, yang dimaksud adalah Jihad yang maknanya Perang. Oleh karena itu kita lihat banyak para ulama penyusun berbagai kitab mencantumkan hadis-hadis yang mengandung perkataan 'fie Sabilillah' didalam bab-bab Jihad. Misalnya Hadis:
"Barangsiapa yang berpuasa sehari fie sabilillah niscaya Allah menjauhkan mukanya dari api neraka 70 tahun perjalanan." (Fathul Bari no. 2840, Kitabul Jihad, Bab Fadlus Soum fie Sabilillah 6/47). Untuk lebih menyakinkan kita rujuk kitab kitab: Shahih Bukhari, Sunan Nasai, Sunan Tirmidzi, At-Targhib wat Tarhib, dan lain-lain. Ibnu Hajar berkata: "Dan yang tidak memerlukan pemikiran yang panjang untuk memahami lafaz 'fie sabilillah adalah Jihad."

C. Makna Perkataan Al-Jihad di dalam Al-Quran
Perkataan Al-Jihad pada ayat-ayat Makiyyah menunjukan makna Jihad menurut bahasa yang 'am, yaitu antara lain: "Barangsiapa yang berjihad maka sesungguhnya ia berjihad untuk dirinya sendiri." (QS Al-Ankabut 6). "Jika kedua orang tuanya berjihad terhadapmu agar kamu mempersekutukan Aku dengan apa-apa yang tidak ada pengetahuan padamu maka janganlah kamu mentaati keduanya." (QS Al-Ankabut 8). "Dan orang-orang yang berjihad dijalan Kami, sungguh Kami benar-benar akan menunjukkan mereka pada jalan jalan Kami." (QS Al-Ankabut 69) ."Dan jika keduanya berjihad terhadapmu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu menta'ati keduanya...." (QS Luqman 15).

Perkataan Al-Jihad pada ayat-ayat Madaniyyah berjumlah 26 perkataan dan kebanyakan menunjukan dengan jelas akan makna Qital (Perang), diantaranya: Surat At-taubah ayat 41 (QS 9:41): "Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu dijalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. " Surat At-Taubah ayat 86: "Dan apabila diturunkan surat (yang memerintahkan kepada orang munafik itu): Berimanlah kamu kepada Allah dan berjihad beserta Rasul-Nya, Niscaya orang-orang yang sanggup di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak ikut berjihad) dan mereka berkata: " Biarlah kamu berada bersama orang- orang yang duduk." Dan Banyak lagi ayat-ayatnya: QS Al-Baqarah 218, QS Al-Imran 142, QS An-Nisa 95, QS Al-Anfal 72, 74, 75, QS At-Taubah 16, 19, 20, 24, 44, 73, 81, 88, QS Al-Hujarat 15, QS Al-Maidah 35, 54, QS Al-Ankabut 6, QS As-Saf 11, QS At-Tahrim 9, QS Al-Mumtahanah 1, QS Muhammad 31.

Adapun Hadist-hadist yang menunjukan makna Jihad menurut syara' antara lain: Dari Amru bin Abasyah berkata: Seorang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? Beliau menjawab:"hatimu menyerah dan orang-orang muslim selamat dari gangguan tangan dan lisanmu. Ia berkata:"Islam macam mana yang paling utama?" Beliau menjawab: "Al-Iman". Ia bertanya:"Apakah Iman itu?" Beliau menjawab: " Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya dan kebangkitan setelah mati." Ia bertanya lagi: "Iman macam mana yang paling utama? "Beliau menjawab: "Hijrah". Ia bertanya: "Apakah Hijrah itu?" Beliau menjawab: "Engkau tinggalkan kejahatan." Ia bertanya lagi: "Hijrah macam mana yang paling utama?" Beliau menjawab: "Al-Jihad." Ia bertanya lagi: "Apakah Jihad itu? Beliau menjawab: "Engkau perangi orang-orang kafir jika engkau jumpai dimedan perang." Ia bertanya lagi: "Jihad macam mana yang paling utama?" Beliau menjawab: "Siapa yang dilukai anggotanya dan dialirkan darahnya." (HR Ahmad).

Demikian pula sahabat Nabi saw jika mendengar perkataan Jihad terlintas dalam benak mereka maknanya adalah perang sebagaimana dapat kita ketahui hal ini antara lain dalam hadist dibawah ini: Dari Abu Qutadah ra, dari Rasulullah saw, bahwasannya baginda telah berdiri dikalangan mereka kemudian menyebutkan, "Sesungguhnya Jihad fie Sabilillah dan Iman kepada Allah itu adalah amal-amal yang paling utama." Maka berdirilah seseorang kemudian ia berkata: "Wahai Rasulullah bagaimana pendapat tuan sekiranya saya terbunuh fie sabilillah, apakah semua dosa-dosa saya terhapus?" kemudian Rasulullah menjawab: "Ya, jika engkau terbunuh fie sabilillah sedangkan engkau sabar, semata-mata mencari pahala, maju terus, tidak mundur." Kemudian Rasulullah saw berkata: "Bagaimana tadi apa yang engkau katakan?" Ia bertanya: "Bagaimana pendapat tuan sekiranya saya terbunuh fie sabilillah, apakah semua kesalahan saya juga akan terhapus? Maka Rasulullah menjawab: "Ya, sedangkan kamu bersabar, semata- mata mencari pahala, maju terus tidak mundur, kecuali hutang (tidak akan terhapus), karena sesungguhnya Jibril as mengatakan demikian kepadaku." (HR Muslim no.1885).

Jihad adalah salah satu jenis ibadah tertentu yang telah disyariatkan Allah kepada umat Islam sebagaimana ibadah Sholat, Zakat, Puasa dan Ibadah-Ibadah lainya. Oleh itu ta'rif jihad menurut bahasa semata-mata tidak tepat jika kita gunakan sebagai ta'rif jihad menurut syara', seperti Ibadah-ibadah lainnya, misalnya sholat. Menurut bahasa, Sholat artinya Do'a, tetapi jika yang dimaksudkan dengan perkataan sholat itu adalah salah satu dari jenis Ibadah maka tidaklah dapat dikatakan bahwa setiap do'a itu adalah sholat.

Demikian pula halnya Siyam (Puasa) menurut bahasa artinya menahan atau mengekang dari makan dan minum. Apakah setiap perbuatan menahan dari makan dan minum pada waktu tertentu dapat dikatakan Siyam (Puasa) secara Syar'i? Tentu tidak. Maka demikian pula halnya Jihad yang artinya menurut bahasa adalah mengerahkan segenap kekuatan dalam perkara apa saja dapat dikatakan Jihad. Karena Jihad sudah merupakan satu jenis Ibadah yang tertentu dalam syariat Islam yaitu pengerahan segenap kekuatan dan kemampuan dalam berperang fie sabilillah dengan jiwa, harta, lisan dan sebagainya. "Hai Nabi, berjihadlah (perangilah) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Neraka Jahanam. Dan itulah tempat kembali seburuk-buruknya." (QS At-Taubah 72). Dalam menafisirkan ayat ini Ibnu Mas'ud berkata: "Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang Munafik dengan tangan, dan jika tidak mampu maka harus mengingkari pada wajah. Dan Ibnu Abbas mengatakan: "Allah swt memerintahkna Nabi saw untuk memerangi orang-orang kafir dengan Pedang dan memerangi orang-orang Munafik dengan lisan dan tidak bersikap lembut terhadap mereka." (Tafsir Ibnu Katsir 2/408).

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS Al-Baqarah 216). "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agam Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka kalam keadaan tunduk". (QS At-Taubah 29).
Dalam kajian lain, kata jihad terulang dalam Al-Quran sebanyak empat puluh satu kali dengan berbagai bentuknya. Menurut ibnu Faris (w. 395 H) dalam bukunya Mu'jam Al-Maqayis fi Al-Lughah, "Semua kata yang terdiri dari huruf j-h-d, pada awalnya mengandung arti kesulitan atau kesukaran dan yang mirip dengannya." Kata jihad terambil dari kata jahd yang berarti "letih/sukar." Jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat bahwa jihad berasal dari akar kata "juhd" yang berarti "kemampuan". Ini karena jihad menuntut kemampuan, dan harus dilakukan sebesar kemampuan. Dari kata yang sama tersusun ucapan "jahida bir-rajul" yang artinya "seseorang sedang mengalami ujian". Terlihat bahwa kata ini mengandung makna ujian dan cobaan, hal yang wajar karena jihad memang merupakan ujian dan cobaan bagi kualitas seseorang. Makna-makna kebahasaan dan maksudnya di atas dapat dikonfirmasikan dengan beberapa ayat Al-Quran yang berbicara tentang jihad. Firman Allah berikut ini menunjukkan betapa jihad merupakan ujian dan cobaan: Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antara kamu dan (belum nyata) orang-orang yang sabar (QS Ali-Imran [3]: 142). Demikian terlihat, bahwa jihad merupakan cara yang ditetapkan Allah untuk menguji manusia. Tampak pula kaitan yang sangat erat dengan kesabaran sebagai isyarat bahwa jihad adalah sesuatu yang sulit, memerlukan kesabaran serta ketabahan. Kesulitan ujian atau cobaan yang menuntut kesabaran itu dijelaskan rinciannya antara lain dalam surat Al-Baqarah ayat 214: Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya (yang dialami) oleh orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncang aneka cobaan sehingga berkata Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya. "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" ingatlah pertolongan Allah amat dekat. "Dan sungguh pasti kami akan memberi cobaan kepada kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang bersabar ."(QS Al-Baqarah [2]: 155). Jihad juga mengandung arti "kemampuan" yang menuntut sang mujahid mengeluarkan segala daya dan kemampuannya demi mencapai tujuan. Karena itu jihad adalah pengorbanan, dan dengan demikian sang mujahid tidak menuntut atau mengambil tetapi memberi semua yang dimilikinya. Ketika memberi, dia tidak berhenti sebelum tujuannya tercapai atau yang dimilikinya habis. Orang-orang munafik mencela orang-orang Mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan mencela juga orang-orang yang tidak memiliki sesuatu untuk disumbangkan (kecuali sedikit) sebesar kemampuan mereka. Orang-orang munafik menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka, dan bayi mereka siksa yang pedih (QS Al-Tawbah [9]: 79). Jihad merupakan aktivitas yang unik, menyeluruh, dan tidak dapat dipersamakan dengan aktivitas lain --sekalipun aktivitas keagamaan. Tidak ada satu amalan keagamaan yang tidak disertai dengan jihad. Paling tidak, jihad diperlukan untuk menghambat rayuan nafsu yang selalu mengajak pada kedurhakaan dan pengabaian tuntunan agama. Apakah orang-orang yang memberi minuman kepada orang-orang yang melaksanakan haji dan mengurus Masjid Al-Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim (QS Al-Tawbah [9]: 19). Katakanlah, "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kamu, keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik." (QS Al-Tawbah [9]: 24). Karena itu, seorang Mukmin pastilah mujahid, dan tidak perlu menunggu izin atau restu untuk melakukannya. Ini berbeda dengan orang munafik. Perhatikan dua ayat berikut. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian tidak meminta izin kepadamu (Muhammad Saw.) untuk berjihad dengan harta benda dan jiwa mereka. Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa (QS Al-Tawbah [9]: 44). Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) bergembira di tempat mereka di belakang Rasul, mereka tidak senang untuk berjihad dengan harta dan diri mereka di jalan Allah ... (QS Al-Tawbah [9]: 81). Mukmin adalah mujahid, karena jihad merupakan perwujudan identitas kepribadian Muslim. Al-Quran menegaskan Barang siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya untuk dirinya sendiri (berakibat kemaslahatan baginya) (QS A1-Ankabut [29]: 6). Maka, jangan menduga yang meninggal di medan juang sebagai orang-orang mati, tetapi mereka hidup memperoleh rezekinya di sisi Allah Swt. (baca QS 3: 169). Karena jihad adalah perwujudan kepribadian, maka tidak dibenarkan adanya jihad yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Bahkan bila jihad dipergunakan untuk memaksa berbuat kebatilan, harus ditolak sekalipun diperintahkan oleh kedua orangtua. Apabila keduanya (ibu bapak) berjihad (bersungguh-sungguh hingga letih memaksamu) untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu, yang tidak ada bagimu pengetahuan tentang itu (apalagi jika kamu telah mengetahui bahwa Allah tidak boleh dipersekutukan dengan sesuatu pun), jangan taati mereka, namun pergauli keduanya di dunia dengan baik... (QS Luqman [31]. 15). Mereka yang berjihad pasti akan diberi petunjuk dan jalan untuk mencapai cita-citanya. Orang-orang yang berjihad di jalan kami, pasti akan Kami tunjukkan pada mereka jalan-jalan Kami (QS Al-Ankabut [29]: 69). Terakhir dan yang terpenting dari segalanya adalah bahwa jihad harus dilakukan demi Allah, bukan untuk memperoleh tanda jasa, pujian, apalagi keuntungan duniawi. Berulang-ulang Al-Quran menegaskan redaksi fi sabilihi (di jalan-Nya). Bahkan Al-Quran surat Al-Hajj ayat 78 memerintahkan berjihad di (jalan) Allah dengan jihad sebenar-benarnya. Kesimpulannya, jihad adalah cara untuk mencapai tujuan. Jihad tidak mengenal putus asa, menyerah, kelesuan, tidak pula pamrih. Tetapi jihad tidak dapat dilaksanakan tanpa modal, karena itu jihad mesti disesuaikan dengan modal yang dimiliki dan tujuan yang ingin dicapai. Sebelum tujuan tercapai dan selama masih ada modal, selama itu pula jihad dituntut. Karena jihad harus dilakukan dengan modal, maka mujahid tidak mengambil, tetapi memberi. Bukan mujahid yang menanti imbalan selain dari Allah, karena jihad diperintahkan semata-mata demi Allah. Jihad menjadi titik tolak seluruh upaya; karenanya jihad adalah puncak segala aktivitas. Jihad bermula dari upaya mewujudkan jati diri yang bermula dari kesadaran. Kesadaran harus berdasarkan pengetahuan dan tidak datang dengan paksaan. Karena itu mujahid bersedia berkorban, dan tak mungkin menerima paksaan, atau melakukan jihad dengan terpaksa.

D. Peringkat-Peringkat Jihad
Seperti yang dipahami di atas, bahwa perkataan jihad mengikut bahasa bermakna: Mencurahkan kesungguhan, mengerahkan kekuatan secara maksimal. Sedangkan mengikut terminalogi (istilah), perkataan jihad mempunyai makna: Mengorbankan jiwa, dan harta dalam membela dien Allah dan melawan musuh-musuhNya. Dalam istilah Muslim disebut: "Berjihadlah kamu sekalian dengan harta, lidah dan jiwa kalian."

Jihad fie sabilillah melalui empat peringkat dalam proses pengsyari'atannya:
1. Diharamkan di Mekkah
"Tidakkah kamu perhatikan orang - orang yang dikatakan kepada mereka: Tahanlah tanganmu dari berperang dan dirikanlah solat." (An Nisa' : 77).
2. Diizinkan ketika Nabi saw. dan para sahabat berhijrah
"Telah diizinkan (berperang) bagi orang -orang yang diperangi, kerana sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar - benar Maha Kuasa menolong mereka itu." (Al Hajj : 39).
3. Menjadi wajib ketika musuh terlebih dahulu memerangi mereka
"Dan perangilah di jalan Allah orang - orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, kerana sesungguhnya Allah tidak menyukai orang - orang yang melampaui batas." (Al Baqarah: 190).
4. Kemudian memerangi kaum musyrikin secara keseluruhan di permukaan bumi
"Dan perangilah mereka, supaya tidak ada fitnah dan supaya dien itu semata - mata bagi Allah." (Al Anfal : 39).

Sampai ketika turun ayat pedang dalam surah At Taubah. Ayat pedang ialah:
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) dien (agama) yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang - orang yang bertakwa." (At Taubah: 36)."Apabila telah berlalu bulan - bulan haram itu maka bunuhlah orang - orang musyrikin itu dimana sahaja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah mereka di tempat pengintaian." (At Taubah: 5).

Setelah turunnya surah At-Taubah, manusia di muka bumi terbagi kepada tiga golongan:
1. Muslim muqatil (Muslim yang memerangi kafir)
2. Kafir yang terikat perjanjian, membayar jizyah (cukai)
3. Musyrik yang diperangi.

Tiadalah di permukaan bumi ini, menurut surah At Taubah, selain ketiga golongan di atas. Kalau bukan seorang muslim, maka dia adalah kafir Zimmi (yang dilindungi keamanannya, membayar jizyah dengan patuh sedang dia dalam keadaan rendah) atau seorang musyrik yang mesti diperangi.

Tidak diterima salah seorang pun di muka bumi, melainkan dia mesti bergabung ke dalam tiga golongan ini; Bernaung di bawah peperintahan Daulah Islam dan dia tetap memeluk diennya namun membayar jizyah, atau masuk dalam pertempuran melawan kaum muslimin atau masuk dien Islam. Dan tetaplah hukum itu, tidak berubah - ubah sampai hari kiamat. Hukum ini tetap, muhkam, kerana pensyari'atan qital (perintah) perang belum dimansukh dan tidak akan dimansukhkan.
"Dan orang - orang yang beriman berkata "Mengapa tidak diturunkan satu surat?" Maka apabila diturunkan suatu surah yang jelas maksudnya dan disebutkan didalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang - orang yang ada penyakit dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pengsan kerana takut mati dan kecelakaanlah bagi mereka." (Muhammad: 20).

Ihkam bermakna sesuatu yang tidak menerima pemansukhan. Para Fuqaha atau para pakar Usul Feqah mendefinasikan kata "Muhkam" dengan takrif: "Ianya adalah sesuatu yang tidak memerlukan pentakwilan, pengkhususan ataupun pembatalan dan tidak akan berubah." kerana itu kaedah syar'i (ini adalah bahagian dari aqidah ahli sunnah wal jama'ah) menyatakan: "Bahawa jihad itu akan tetap berlaku sampai hari kiamat. Tidak boleh dihentikan oleh keadilan orang yang adil atau oleh penyimpangan orang yang zalim." Dalam hadith sahih disebutkan:
"Pernah satu ketika ada seseorang datang kepada Rasulullah saw, lalu berkata: "Wahai Rasulullah, manusia telah meremehkan kebaikan, mereka mengatakan: " Tak ada lagi perang, kerana peperangan telah usai. "Beliau berkata: "Mereka dusta, sekarang datang peperangan itu. Dan akan sentiase ada segolongan dari umatku yang berperang membela kebenaran sampai datang keputusan Allah, sedangkan mereka tetap dalam keadaan demikian itu" (Sahih al Jami'As Saghir no 7295).

Bahagian dari aqidah ahlusunnah wal jama'ah itu (boleh anda baca dalam buku aqidah bukan buku fiqih). Bahagian dari aqidah tersebut ialah: Jihad itu terus berlanjutan sampai hari kiamat. Ini merupakan aqidah kita dan aqidah ahlusunnah wal jama'ah Dalam sebuah hadith disebutkan: "Wajib bagi kamu semua berjihad, samaada dengan pemimpin yang baik mahupun dengan pemimpin yang fajir (yang berbuat maksiat)." (Riwayat Abu Dawud "Ma'a kulli birrin wa Fajirin"). Meskipun dalam hadits ini ada maqal (pembicaraan), karena Ma-khul tidak mendengar dari sahabat, akan tetapi ada hadith sahih lain yang menyebutkan: "Kuda itu tertambat pada ubun - ubunnya kebaikan sampai hari kiamat, iaitu pahala dan ghanimah." (Sahih Al jami'As Saghir no 3353). Yaitu, pahala/kebaikan itu tertambat pada ubun - ubun kuda, dengan sebab jihad. Yang dengan jihad tersebut Allah mengurniakan buahnya berupa pahala dan ghanimah. Berkata Ibnu Taimiyah, rahimahullah: "Hadith ini adalah sebagai dalil bahawa jihad itu akan tetap sentiasa berlaku sampai hari kiamat dan tidak akan berhenti." tertambat pada ubun - ubunnya kebaikan sampai hari kiamat. Sedangkan kebaikan itu adalah pahala dan ghanimah.

E. Marhalah Turunnya Perintah Jihad
Perintah Jihad fie Sabilillah diturunkan oleh Allah secara bertahap sesuai dengan pertumbuhan kaum Muslimin. Didalam kitab Al-Mabsut, Syamsuddin As-Sarkhasyi mengatakan: "Pada mulanya Rasulullah SAW diperintah untuk memaafkan dan berpaling dari orang-orang musyrik, Firman Allah: "Maka maafkanlah mereka dengan cara yang baik." (QS Al-Hijr 85). "Berpalinglah dari orang-orang Musyrik." (QS Al-Hijr 94). Kemudian baginda SAW diperintahkan untuk menyeru mereka dengan pelajaran dan bantahan yang baik, Firman Allah: "Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.." (QS An-Nahl 125). Kemudian baginda SAW diperintahkan untuk memerangi orang yang memulai peperangan, Firman Allah: "Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu." (QS Al-Hajj 39). "Maka jika mereka memerangi kamu maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang yang kafir." (QS Al-Baqarah 191). "Jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS Al-Anfal 61). Kemudian baginda SAW diperintahkan untuk memulai memerangi mereka, sama saja mereka memulainya ataupun tidak, Firman Allah: "Dan perangilah mereka supaya tidak ada lagi fitnah." (QS Al-Anfal 39). "Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka." (QS At-Taubah 5). "Aku diperintahkan memerangi manusia, sehingga mereka bersyahadat bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan aku Rasulullah. Apabila mereka telah mengatakan demikian maka terpeliharalah darah dan harta mereka daripadaku kecuali sebab haknya (mereka melakukan pelanggaran), sedangkan perhitungan mereka terpulang kepada Allah." (HR Bukhari, Muslim, Nasai, Tirmizi, Ibnu Majah). Maka tetaplah perintah kewajipan Jihad memerangi orang-orang musyrikin. Perintah tersebut adalah kewajipan yang terus berlangsung hingga ke hari kiamat. "Jihad itu wajib sejak aku diutus oleh Allah, hingga golongan terakhir umatku memerangi Dajjal." (HR Abu Daud dan Dailami). "Aku telah diutus menjelang hari kiamat dengan pedang, hingga manusia beribadah hanya kepada Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, rezekiku dijadikan-Nya dibawah bayangan tombakku, dan kerendahan serta kehinaan dijadikan-Nya terhadap orang yang menyalahi perintahku. Dan barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka." (HR Ahmad dan Tabrani).

Tafsir daripada hadist ini dinukil dari Sufyan bin Uyainah rahimahullah, beliau mengatakan: "Allah telah mengutus Rasul-Nya SAW dengan empat pedang:
Pedang yang digunakan baginda SAW untuk memerangi penyembah berhala
Pedang yang digunakan oleh Abu Bakar as-Siddiq ra. untuk memerangi kaum murtadFirman Allah:"kamu perangi mereka atau mereka menyerah." (QS Al-Fath 16).
Pedang yang digunakan Umar bin Khattab ra untuk memerangi kaum Majusi dan Ahli Kitab Firman Allah: "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah..." (QS At-Taubah 29).
Pedang yang digunakan oleh Ali bin Abi Thalib ra untuk memerangi Al-Mariqin, An-Nakithin dan Al-Qasitin. Demikianlah yang diriwayatkan dari Ali ra katanya: "Aku telah diperintah untuk memerangi Al-Mariqin, An-Nakithin, dan Al-QasitinFirman Allah: "Perangilah (golongan) yang berbuat aniaya sehingga ia kembali kepada perintah Allah..." (QS Al-Hujarat 9).

Imam Syafi'i rahimahullah berpendapat tentang tertib disyariatkannya perang: "Sesungguhnya keadaan kaum muslimin di Makkah sejak jaman permulaan perutusan Nabi saw dalam keadaan tertindas. Mereka belum diizinkan Hijrah ataupun Perang. Kemudian mereka diizinkan dan dibolehkan berhijrah, tetapi belum diwajibkan. Maka berhijrahlah sekelompok kaum muslimin ke Habsyah. kemudian Allah swt mengizinkan Rasulullah saw untuk hijrah ke Madinah, selanjutnya diizinkan perang untuk mempertahankan diri. Setelah itu hijrah diwajibkan kepada orang yang masih berada di Makkah serta serta ada kemampuan. Kemudian perang diwajibkan kepada kaum muslimin"
Ibnu Taimiyah mengatakan dalam menerangkan tahapan-tahapan Jihad: "Adalah Nabi saw pada masa awal kerasulannya diperintah berjihad menghadapi orang- orang kuffar dengan lisan bukan dengan tangan. baginda SAW menyeru mereka, menasihati dan berdebat dengan mereka dengan cara yang baik. Beliau berjihad terhadap mereka dengan Al-Quran sebagai Jihad yang besar, Firman Allah dalam surat Al-Furqan - Surat Makiyyah. "Oleh itu janganlah engkau (wahai Muhammad) menta'ati orang-orang kafir, dan berjihadlah menghadapi mereka dengan Al-Quran dengan Jihad yang besar." (QS Al-Furqan 52).

Rasulullah SAW telah diperintah untuk menahan diri dari memerangi mereka, kerana baginda SAW masih dalam keadaan lemah, demikian pula kaum Muslimin. Kemudian setelah baginda SAW berhijrah ke Madinah, dan dengan sebab hijrah itu baginda SAW memperoleh penolong, maka baginda SAW diizinkan melaksanakan Jihad. Kemudian berperang diwajibkan atas kaum muslimin setelah menjadi kuat, tetapi tidak diwajibkan memerangi orang-orang yang telah mengadakan perdamaian dengan mereka, kerana mereka belum mampu untuk memerangi semua kaum kuffar. Dan setelah Makkah telah terbuka, peperangan dengan Quraisy, para penguasa Arab telah berakhir, dan utusan-utusan Qabilah Arab datang kepada Nabi SAW untuk memeluk Islam, Allah ta'ala memerintahkan kepada Nabi SAW untuk memerangi seluruh orang-orang kuffar, kecuali yang terikat perjanjian yang sementara dengan kaum muslimin, dan Allah memerintahkan untuk membatalkan perjanjian yang mutlak".

Dari keterangan-keterangan di atas dapatlah kita membuat kesimpulan bahwa sebelum perintah Jihad itu sampai kepada perintah Jihad yang terakhir, Jihad terbagi kepada 4 tahap:
1.Jihadul-Kuffar bil-Qur'an/Jihadud Da'wah Duna Saif (Jihad menghadapi kuffar dengan Al-Quran, tanpa menggunakan senjata).
2.Fardiyatul-Jihadi ad-Difa'i. (Diwajibkan Jihad dengan senjata untuk mempertahankan diri)
3.Ibahatul-Jihad al-Hujumi. (Dibolehkannya Jihad dengan senjata untuk menyerang kaum kuffar).
4.Fardiyatal-Mutlaq (ad-difa'i dan al-Hujumi/Diwajibkannya Jihad dengan senjata secara mutlak baik untuk mempertahankan diri maupun untuk melakukan penyerangan terhadap kaum kuffar)

F. Hukum Jihad
Hukum Jihad itu terbagi dua: Fardu A'in dan Fardu Kifayah. Menurut Ibnul Musayyab hukum Jihad adalah Fardu A'in sedangkan menurut Jumhur Ulama hukumnya Fardu Kifayah yang dalam keadaan tertentu akan berubah menjadi Fardu A'in.
1. Fardu Kifayah:
Yang dimaksud hukum Jihad fardu kifayah menurut jumhur ulama yaitu memerangi orang-orang kafir yang berada di negeri-negeri mereka. Makna hukum Jihad fardu kifayah ialah, jika sebagian kaum muslimin dalam kadar dan persediaan yang memadai, telah mengambil tanggung-jawab melaksanakannya, maka kewajiban itu terbebas dari seluruh kaum muslimin. Tetapi sebaliknya jika tidak ada yang melaksanakannya, maka kewajiban itu tetap dan tidak gugur, dan kaum muslimin semuanya berdosa. "Tidaklah sama keadaan orang-orang yang duduk (tidak turut berperang) dari kalangan orang-orang yang beriman selain daripada orang-orang yang ada keuzuran dengan orang-orang yang berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang tinggal duduk (tidak turut berperang karena uzur) dengan kelebihan satu derajat. Dan tiap-tiap satu (dari dua golongan itu) Allah menjanjikan dengan balasan yang baik (Syurga), dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang tinggal duduk (tidak turut berperang dan tidak ada uzur) dengan pahala yang amat besar." (QS An-Nisa 95) .

Ayat di atas menunjukan bahwa Jihad adalah fardu kifayah, maka orang yang duduk tidak berjihad tidak berdosa sementara yang lain sedang berjihad. ketetapan ini demikian adanya jika orang yang melaksanakan jihad sudah memadai(cukup) sedangkan jika yang melaksanakan jihad belum memadai (cukup) maka orang-orang yang tidak turut berjihad itu berdosa. Dan jihad ini diwajibkan kepada laki-laki yang baligh, berakal, sehat badannya dan mampu melaksanakan jihad. Dan ia tidak diwajibkan atas: anak-anak, hamba sahaya, perempuan, orang pincang, orang lumpuh, orang buta, orang kudung, dan orang sakit. "Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih." (QS Al-Fath 17). "Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS At-Taubah 91). "Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan." (QS At-Taubah 92). "Sesungguhnya jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu orang-orang kaya. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka)." (QS At-Taubah 93).

Ibnu Qudamah mengatakan: "Jihad dilaksanakan sekurang-kurangnya satu kali setiap tahun. Maka ia wajib dilaksanakan pada setiap tahun kecuali uzur. Dan jika keperluan jihad menuntut untuk dilaksanakan lebih dari satu kali pada setiap tahun, maka jihad wajib dilaksanakan karena fardu kifayah. Maka jihad wajib dilaksanakan selama diperlukan."

Imam Syafi'i mengatakan : "Jika tidak dalam keadaan darurat dan tidak ada uzur, perang tidak boleh diakhirkan hingga satu tahun." Al-Qurtubi mengatakan: "Imam wajib mengirimkan pasukan untuk menyerbu musuh satu kali pada setiap tahun, apakah ia sendiri atau orang yang ia percayai pergi bersama mereka untuk mengajak dan menganjurkan musuh untuk masuk Islam, menolak gangguan mereka dan menzahirkan Dienullah sehingga mereka masuk Islam atau menyerahkan jizyah." Abu Ma'ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini, yang terkenal dengan panggilan Imamul Haramain mengatakan: "Jihad adalah dakwah yang bersifat memaksa, jihad wajib dilaksanakan menurut kemampuan sehingga tidak tersisa kecuali Muslim atau Musalim, dengan tidak ditentukan harus satu kali didalam setahun, dan juga tidak dinafikan sekiranya memungkinkan lebih dari satu kali. Dan apa yang dikatakan oleh para Fukaha (sekurang-kurangnya satu kali pada setiap tahun, mereka bertitik tolak dari kebiasaan bahwa harta dan pribadi(jiwa) tidak mudah untuk mempersiapkan pasukan yang memadai lebih dari satu kali dalam setahun."

Perlu kita fahami bahwa praktek jihad yang hukumnya fardu kifayah ini adalah jihad yang secara langsung berhadapan memerangi orang-orang kafir, sedangkan jihad yang tidak secara langsung berhadapan dengan orang-orang kafir hukumnya fardu a'in. Sulaiman bin Fahd Al-Audah mengatakan, "Ibnu Hajar telah memberikan isyarat tentang kewajiban Jihad - dengan makna yang lebih umum - sebagai fardu a'in, maka beliau mengatakan : "Dan juga ditetapkan bahwa jenis jihad terhadap orang kafir itu fardu a'in atas setiap muslim : baik dengan tangannya, lisannya, hartanya ataupun dengan hatinya." Hadist-hadist yang menerangkan bahwa hukum jihad dalam makna yang umum (dengan tangan, harta atau hati) itu jihad fardu a'in, antara lain:"Barangsiapa yang mati sedangkan ia tidak berperang, dan tidak tergerak hatinya untuk berperang, maka dia mati diatas satu cabang kemunafikan." (HR Muslim, Abu Daud, Nasai, Ahmad, Abu Awanah dan Baihaqi). "Barangsiapa yang tidak berperang atau tidak membantu persiapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, niscaya Allah timpakan kepadanya kegoncangan." Yazid bin Abdu Rabbihi berkata : "Didalam hadist yang diriwayatkan ada perkataan "sebelum hari qiamat." (HR Abu Daud, Ibnu Majah, Darimi, Tabrani, Baihaqi dan Ibnu Asakir).

Dari dua hadist di atas kita mendapat pelajaran bahwa ancaman kematian pada satu cabang kemunafikan dan mendapat goncangan sebelum hari kiamat adalah bagi orang yang tidak berjihad, tidak membantu orang berjihad dan tidak tergerak hatinya untuk berjihad. Jadi orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk pergi berperang secara langsung mengahadapi orang-orang kafir, mereka harus tergerak hatinya untuk berperang seperti halnya orang yang lemah dan orang yang sakit. Dan sekiranya hukum jihad secara langsung berhadapan dengan orang-orang kafir sudah berubah dari fardu kifayah menjadi fardu a'in, maka tidak ada yang dikecualikan siapapun harus pergi berperang dengan apa dan cara apapun yang dapat dilakukan. Dibawah ini akah dibahas mengenai keadaan Jihad yang hukumnya fardu a'in.

2. Fardu A'in
Hukum Jihad menjadi Fardu A'in dalam beberapa keadaan:
a. Jika Imam memberikan perintah mobilisasi umum.
Jika Imam kaum muslimin telah mengumumkan mobilisasi umum maka hukum jihad menjadi fardu a'in bagi kaum muslimin yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan jihad dengan segenap kamampuan yang dimilikinya. Dan jika Imam memerintahkan kepada kelompok atau orang tertentu maka jihad menjadi fardu ain bagi siapa yang ditentukan oleh imam.
Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa nabi Muhammad saw bersabda pada hari Futuh Mekkah: "Tidak ada hijrah selepas Fathu Mekkah, tetapi yang ada jihad dan niat, Jika kalian diminta berangkat berperang, maka berangkatlah." (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Darimi dan Ahmad). Makna Hadist ini : "Jika kalian diminta oleh Imam untuk pergi berjihad maka pergilah" . Ibnu Hajjar mengatakan : "Dan didalam hadist tersebut mengandung kewajiban fardu ain untuk pergi berperang atas orang yang ditentukan oleh Imam."
b. Jika bertemu dua pasukan, pasukan kaum Muslimin dan pasukan kuffar.
Jika barisan kaum muslimin dan barisan musuh sudah berhadapan, maka jihad menjadi fardu ain bagi setiap orang Islam yang menyaksikan keadaan tersebut. Haram berpaling meninggalkan barisan kaum Muslimin. Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)". (QS Al-Anfal 15). "Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (sisat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya." (QS Al-Anfal 16). Rasulullah saw bersabda : "Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan, "Beliau saw ditanya: "Ya Rasulullah, apa tujuh perkara yang membinasakan itu?" Beliau saw menjawab : (1) Mempersekutukan Allah, (2) Sihir, (3) Membunuh orang yang telah dilarang membunuhnya, kecuali karena alasan yang dibenarkan Allah, (4)Memakan harta anak yatim, (5) Memakan riba, (6) lari dari medan pertempuran; dan (7) Menuduh wanita mu'minah yang baik dan tahu memelihara diri, berbuat jahat (zina)." (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-Nasai, Thahawi, Baihaqi, Baghawi).
c. Jika musuh menyerang wilayah kaum Muslimin.
Jika musuh menyerang kaum muslimin maka jihad menjadi fardu ain bagi penghuni wilayah tst. Sekiranya penghuni wilayah tsb tidak memadai untuk menghadapi musuh, maka kewajiban meluas kepada kaum muslimin yang berdekatan dengan wilayah tst, dan seterusnya demikian jika belum memadai juga, jihad menjadi fardu ain bagi yang berdekatan berikutnya hingga tercapai kekuatan yang memadai. Dan sekiranya belum memadai juga, maka jihad menjadi fardu ain bagi seluruh kaum muslimin diseluruh belahan bumi.

Ad Dasuki (dari Mazhab Hanafi) berkata : "Didalam menghadapi serangan musuh, setiap orang wajib melakukannya, termasuk perempuan, hamba sahaya dan anak- anak mesikipun tidak diberi izin oleh suami, wali dan orang yang berpiutang. Didalam kitab Bulghatul Masalik li Aqrabil Masalik li Mazhabil Imam Malik dikatakan : "...Dan jihad ini hukumnya fardu ain jika Imam memerintahkanya, sehingga hukumnya sama dengan sholat, puasa dan lain sebagainya. Kewajiban jihad sebagai fardu ain ini juga disebabkan adanya serangan musuh terhadap salah satu wilayah Islam. Maka bagi siapa yang tinggal diwilayah tersebut, berkewajiban melaksanakan jihad, dan sekiranya orang-orang yang berada disana dalam keadaan lemah maka barangsiapa yang tinggal berdekatan dengan wilayah tersebut berkewajiban untuk berjihad. Dalam keadaan seperti ini, kewajiban jihad berlaku juga bagi wanita dan hamba sahaya walaupun mereka dihalang oleh wali, suami, atau tuannya, atau jika ia berhutang dihalangi oleh orang yagn berpiutang. Dan juga hukum jihad menjadi fardu ain disebabkan nazar dari seseorang yang ingin melakukannya. Dan kedua ibu-bapa hanya berhak melarang anaknya pergi berjihad manakala jihad masih dalam keadaan fardu kifayah. Dan juga fardu kifayah membebaskan tawanan perang jika ia tidak punya harta untuk menebusnya, walaupun dengan menggunakan serluruh harta kaum muslimin.

Ar Ramli (Dari Mazhab Syafi'i) mengatakan : "Maka jika musuh telah masuk kedalam suatu negeri kita dan jarak antara kita dengan musuh kurang daripada jarak qashar sholat, maka penduduk negeri tersebut wajib mempertahankannya, hatta (walaupun) orang-orang yang tidak dibebani kewajiban jihad seperti orang-orang fakir, anak-anak, hamba sahaya dan perempuan. Ibnu Qudamah (dari Mazhab Hambali) mengatakan :"Jihad menjadi fardu 'ain didalam 3 keadaan:
a.Apabila kedua pasukan telah bertemu dan saling berhadapan. b.Apabila orang kafir telah masuk (menyerang) suatu negeri (diantara negeri negeri Islam), Jihad menjadi fardu ain atas penduduknya untuk memerangi orang kafir tsb dan menolak mereka. c.Apabila Imam telah memerintahkan perang kepada suatu kaum, maka kaum tsb wajib berangkat.

G. Hukum Jihad pada Masa Sekarang
Dari keterangan diatas kita memperoleh gambaran bahwa hukum jihad berubah ubah sesuai dengan perubahan kondisi dan situasi. Timbul pertanyaan : Apakah hukum jihad pada masa sekarang ini? Apakah fardu 'ain atau fardu kifayah?. Ketetapan jumhur ulama bahwa hukum jihad itu fardu kifayah adalah fatwa mereka bagi kaum muslimin dalam keadaan khilafah Islamiyyah masih tegak, itupun dengan menetapkan pula adanya kondisi yang boleh menyebabkan berubahnya hukum jihad dari fardu kifayah menjadi fardu 'ain. Sekarang keadaanya lain, bumi sudah berubah, situasi dan kondisipun telah berubah dengan lenyapnya kekuasaan Islam, dan khilafah Islamiyah. Keadaan seperti ini mewajibkan kita untuk meninjau kembali pokok masalahnya.

Abu Ibrahim Al-Misri menyatakan : "Kita mulai dengan ta'rif dua istilah ini:
Fardu 'Ain: Yaitu kewajiban yang zatiah dibebankan kepada setiap muslim. Fardu Kifayah: Yaitu perintah yang ditujukan kepada kaum muslimin secara umum, jika sebagian kaum muslimin melaksanakannya maka gugurlah kewajiban yang lainnya, dan jika tidak ada yang melaksanakannya maka berdosalah semua kaum muslimin.

Bertitik tolak dari fardu kifayah, membuahkan pertanyaan kepada kita tetapi jawabannya kita tangguhkan : Apakah perintah dalam urusan kita dan apakah tujuan jihad kita? Pertanyaan tidak sempurna melainkan ditambah dengan pertanyaan lainnya : Apakah tujuan Jihad itu akan tercapai dengan hanya melibatkan sebagian kaum muslimin atau tidak?...Sesungguhnya fatwa yang ringkas dan jalan pintas bagi menetapkan hukum mengenai masalah ini, saya katakan: Dengan mentakhrij pada usul fuqaha dan syarat-syarat yang ditetapkan mereka, orang muslim itu tidak dapat menyatakan melainkan bahwa telah terjadi Ijma para Fuqaha umat Islam bahwasannya Jihad itu adalah fardu 'ain pada zaman kita sekarang ini. Berbagai keadaan yang menetapkan jihad menjadi fardu 'ain telah terkumpul pada zaman ini, bahkan telah berlipat ganda dengan sesuatu yang tidak terlintas dalam benak salah seorang mereka sekiranya ia tidak meninggalkan kesan di tengah-tengah penyimpangan dari hukum ini.

Imam Qurtubi bekata : "Setiap orang yang mengetahui kelemahan kaum muslimin dalam menghadapi musuhnya, dan ia mengetahui bahwa musuhnya itu akan dapat mencapai mereka sementara ia pun memungkinkan untuk menolong mereka, maka ia harus keluar bersama mereka (menghadapi musuh tsb). Imam Ibnu Taimiyyah berkata : "Jika musuh hendak menyerang kaum muslimin, maka menolak musuh itu menjadi wajib atas semua orang yang menjadi sasaran musuh dan atas orang-orang yang tidak dijadikan sasaran mereka. Aku (Abu Ibrahim Al-Misri) katakan - hampir saja jiwa ini binasa karena kesedihan terhadap mereka ."Siapakah diantara kita yang tidak dituju dan tidak dijadikan sasaran makar (rencana) para pembuat makar. Belahan bumi yang manakah sekarang ini yang selamat dari permainan para pembuat bencana? Hamparan tanah yang manakah sekarang ini yang diatasnya panji Khilafah dan Kekuatan Islam ditinggikan? Jika engkau tidak tahu maka tanyalah bumi ini, ia akan menjawab sambil mengadukan kepada Rabbnya kezhaliman para Thogut dan sikap masa bodo' nya kaum muslimin sesama mereka sendiri...maka adakah benar perbantahan orang-orang yang bermujadalah bahwa jihad itu fardu kifayah, bukan fardu 'ain?" Kami ingin keluar dariapda perselisihan dan mengakhiri perbantahan, maka kami katakan : Apakah tujuan yang dituntut di dalam kewajiban Jihad atas pertimbangan bahwa sebagian kaum muslimin melaksanakannya maka kewajiban itu gugur dari yang lain? Serahkan jawabannya pada Fuqaha kita... Al-Kasani berkata : "Yang mewajibkan jihad ialah : Dakwah kepada Islam, meninggikan Ad-Dien yang hak, dan menolak kejahatan orang-orang kafir dan pemaksaan (paksaan) mereka." Imam Ibnul Hammam mengatakan : "Sesungguhnya jihad itu diwajibkan hanyalah untuk meninggikan Dienullah dan menolak kejahatan manusia. Maka jika tujuan itu berhasil dengan dilaksanakannya oleh sebagian kaum muslimin maka gugurlah kewajiban bagi yang lain, sama halnya seperti sholat jenazah dan menjawab salam."

Kami memohon ampun kepada Allah karena kami tidak patut mendahului Allah dan Rasul-Nya. sesungguhnya Allah telah menerangkan jauh sebelum ini dan selanjutnya telah dirinci (dijelaskan) pula oleh Rasulullah saw mengenai tujuan jihad yang dimaksud ini. "Perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah, dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.." (QS Al-Anfal 39). "Aku telah diutus menjelang hari kiamat dengan pedang, hingga manusia beribadah hanya kepada Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, rezekiku dijadikan-Nya dibawah bayangan tombakku, dan kerendahan serta kehinaan dijadikan-Nya terhadap orang yang menyalahi perintahku. Dan siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka." (HR Ahmad dan Tabrani). "Aku diperintah memerangi manusia, sehingga mereka bersyahadat bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan aku Rasulullah. Apabila mereka telah mengatakan demikian maka terpeliharalah darah dan harta mereka daripadaku, kecuali sebab haknya (mereka melakukan pelanggaran); sedangkan perhitungan mereka terpulang kepada Allah." (HR Bukhari, Muslim, An-Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah).

Adakah Fitnah telah sirna? Adakah kejahatan, pemaksaan dan penguasaan orang- orang kafir telah sirna(hilang) dan semua agama itu semata-mata untuk Allah? Maka bukan dipandang dari segi fardu 'ainnya jihad yang dilaksanakan oleh kaum muslimin dan bukan pula dari segi fardu kifayahnya, sejumlah kaum muslimin telah lupa/malas/enggan berjihad sehingga mencapai kejayaan dan kekuasaan yang sangat minim (kecil) bagi kaum muslimin, yaitu berpuluh puluh tahun mereka tetap berada dalam kerendahan, kehinaan, dan dibawah pemaksaan musuh serta dalam keadaan tertindas. "Maka kemanakah kalian hendak pergi? Al-Qur'an itu tiada lain sebagai peringatan bagi semesta alam (yaitu) bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus."

Dan sekiranya dalam kondisi gelap gulita yang mengancam umat secara individu dan kelompok ini, hukum jihad tidak menjadi fardu 'ain, maka bilakah tujuan itu akan dapat tercapai? Adakah ia akan wujud seperti hidangan yang turun dari langit, yang pada hidangan itu ada mangkok Khilafah yang berisi ketentraman dan pertolongan rabbmu, serta berisi kemuliaan dan kejayaan kaum muslimin lainnya? Ataukah sekiranya hidangan yang turun itu terlambat, hukum jihad akan menjadi fardu 'ain setelah musuh merampas negeri kaum muslimin, dan setelah perlengkapan untuk memikul agama ini sempurna? Padahal kita tahu bahwa Allah itu Maha Benar lagi Maha Menjelaskan segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya.

Manakah toifah yang berperang untuk membela Dien ini, yang tidak akan dimudaratkan oleh orang yang menyalahinya dan oleh orang yang meremehkannya?
Manakah Rub'i bin Amir yang mengatakan: "Allahlah yang telah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan terhadap manusia menuju penghambaan terhadap rabb seluruh manusia, dari kezhaliman berbagai agama kepada keadilan Islam, dan dari kesempitan dunia kepada kelapangan dunia dan akhirat."
Manakah fuqaraul Muhajirin yang (mereka telah diusir dari kampung halaman dan harta mereka karena mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya dan karena menolong Allah dn Rasul-Nya. Dan mereka itulah orang-orang yagn benar)? Dan diantara ujian buruk dan lucu, ada seorang syaikh yang terhormat ditanya oleh salah seorang muridnya dalam keadaan kerhormatan kaum muslimin tengah dirusak dan bumi mereka tengah dirampas. Murid itu bertanya tentang kewajiban Jihad, kemudian ia menjawab: "Fardu Kifayah." Kemudian ia melanjutkan pertanyaan :"Bilakah Jihad menjadi Fardu 'ain?" Ia menjawab:"Ketika musuh memasuki negeri kita."

Maka salah seorang syaikh mujahid memberikan komentar dengan mengatakan : "Maha suci Rabbku, adakah ayat-ayat yang diturunkan tentang Jihad dan tentang mempertahankan bumi kaum muslimin dengan menetapkan hanya sebidang tanah ini? Bukan bumi Allah yang luas?"
Aku (Abu Ibrahim Al-Misri) katakan: "Mungkin syaikh kita ini belum membaca apa yang dikatakan oelh Ibnu Taimiyyah tentang itu." Ibnu Taimiyyah mengatakan: "Apabila musuh telah memasuki negeri-negeri Islam, maka tidak ada keraguan lagi bahwa mempertahankannya adalah wajib atas orang-orang yang paling dekat, kemudian atas orang-orang yang terdekat berikutnya. karena pada hakikatnya kedudukan seluruh negeri-negeri Islam itu adalah satu negeri. Dan sesungguhnya berangkat ke negeri tersebut adalah wajib hukumnya, tanpa perlu izin orang tua dan orang yang berpiutang. Dan nash-nash dari Imam Ahmad dalam hal ini sangat jelas.

Dan diantara perkara yang menambah sakit dan kerugian seseorang itu jika dia tidak pernah mengetahui keadaan kaum muslimin, kehinaan mereka, dan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak dan kehormatan mereka baik dibarat maupun di timur. Itu adalah musibat, karena sesungguhnya orang yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin tidak mungkin dia akan termasuk dalam golongan kaum muslimin. Dan sekiranya kamu mengetahui tapi tetap berdiam diri maka musibat itu jauh lebih besar lagi.

Kesimpulannya : Mesti diketahui bahwa yang dimaksud dengan fardu kifayah yang jika dilaksanakan oleh sekelompok kaum muslimin maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya, keadaan kelompok tersebut haruslah memadai untuk melaksanakannya sehingga gugur kewajiban bagi yang lain. Dan bukanlah yang dimaksud hanya sekelompok saja yang tampil/turun melaksanakannya tetapi tidak memadai(mencukupi).
Oleh itu tidak benar pengguguran kewajiban jihad dari semua kaum muslimin dengan tampilnya sekelompok pelaksana pada sebagian bumi walaupun ia mencukupi ditempat tersebut, sedangkan pada bagian-bagian bumi lainnya panji kekufuran tegak dengan megahnya. Maka kaum muslimin yang berdekatan dengan kawasan-kawasan tersebut wajib berjihad menghadapi orang-orang kafir itu sehingga dapat menguasai mereka. Dan demikianlah seterusnya hingga tercapai keadaan yang mencukupi (memadai).

Di dalam hasyiyah Ibnu Abidin, ia berkata : janganlah kalian menyangka bahwa kewajiban jihad itu akan gugur dari penduduk India dengan sebab jihad itu dilaksanakan oleh penduduk Rum, misalnya. Bahkan sebenarnya jihad itu wajib atas orang yang terdekat kepda musuh, kemudian atas orang yang terdekat berikutnya sehingga terjadilah keadaaan yang memadai. Maka sekiranya keadaan yang memadai itu tidak dapat wujud melainkan mesti dengan mengerahkan semua kaum muslimin, maka jihad menjadi fardu 'ain seperti sholat dan puasa.

Orang yang memperhatikan keadaan kaum muslimin dan orang-orang kafir pada zaman sekarang ini tentu ia akan mendapatkan bahwa jihad adalah fardu 'ain atas setiap muslim yang mampu, bukan fardu kifayah. Ini disebabkan karena sebagian kelompok kaum muslimin yang melaksanakan jihad menghadapai orang-orang kafir dibeberapa tempat, mereka tidak memadai utnuk mencukupi keperluan di tempat-tempat lainya yang di situ musuh tengah menyerbu kaum muslimin ditengah-tengah kampung halaman mereka sendiri, sementara ditempat itu tidak ada kelompok yang bangkit melaksanakan kewajiban jihad untuk menghadapinya.

Berdasarkan keterangan di atas sungguh terang dan jelas bagi kita bahwa hukum jihad pada masa sekarang ini adalah FARDU 'AIN.




H. Pembahagian Jihad dari Jenis Lawan yang Dihadapi
1. Jihadun Nafsi:
Yaitu Pembinaan/Tarbiyyah manusia terhadap dirinya untuk menta'ati Allah, menolak fitnah syahwat dan syubhat, dan melaksanakan ketaatan walupun ia amat berat dan tidak disukai oleh hawa nafsunya. Ibnul Qayyim membagi Jihadun-Nafsi ini menjadi empat martabat (bagian):
1.Jihadun Nafsi (Jihad terhadap diri) untuk memahami petunjuk dan Dien yang Haq. 2.Jihadun Nafsi (Jihad terhadap diri) untuk mengamalkan Dien yang Haq 3.Jihadun Nafsi (Jihad terhadap diri) untuk menyeru (Dakwah) kepada Dien yang Haq, untuk mengajari orang yang belum mengetahui.
4.Jihadun Nafsi (Jihad terhadap diri) untuk bersabar menghadapi kesulitan kesulitan dakwah (menyeru) kepada Allah dan bersabar menghadapi gangguan makhluk, dan juga menanggung semuanya itu karena Allah.

Selanjutnya Ibnul Qoyyim mengatakan : "Jika manusia telah menyempurnakan keempat martabat ini, maka jadilah ia termasuk kedalam golongan Rabbaniyyin, karena sesungguhnya Ulama Salaf sepakat bahwa orang alim tidak berhak digelar Rabbaniy sehingga ia mengetahui Al-Haq, mengamalkannya dan mengajarkannya. Oleh karena itu, barang siapa yang telah mengetahui, mengamalkan dan mengajarkan Al-Haq, maka ia dipanggil sebagai manusia yang agung dalam kerajaan langit. Oleh karena pentingnya jenis Jihad ini terdapat keterangan didalam hadist yang menunjukan pengertian Jihad secara ringkas dan singkat: Fudulah bin Ubaid ra berkata : Rasulullah saw pada Hajjatul Wada' (Ibadah Haji yang terakhir) bersabda : "ketahuilah kukhabarkan kepada kalian orang Mu'min ialah orang yang menyebabkan orang lain merasa aman baik harta maupun jiwanya, Muslim ialah orang yang orang lain selamat dari lidah dan tangannya, Mujahid ialah orang yang berjihad terhadap dirinya dalam menta'ati Allah dan Muhajir ialah orang yang meninggalkan kesalahan dan dosa." (HR Ahmad).
2. Jihadus Syaitan :
Yaitu Jihad melawan syaitan dengan menolak syahwat dan syubhat yang dilontarkan (godaan syaitan) kepada manusia. Jihad terhadap syaitan dengan menolak syubhat yaitu dengan ilmu yang manfa'at dan warisan para nabi sehingga membuahkan keyakinan yang teguh kedalam hati. sedangkan Jihad terhadap syaitan dengan menolak syahwat dan segala keinginan yang merusak yaitu dengan perasaan takut kepada Allah dan banyak mengingat perjumpaan dengannya dan kedudukannya dihadapan Alla swt.
3. Jihadul Kuffar :
Yaitu Jihad menghadapi orang kafir dengan memerangi dan membunuh mereka, dan mengerahkan segala yang diperlukan dalam peperangan baik berupa harta, jiwa dan yang lainnya sebagaimana sabda nabi Muhammad saw: "Perangilah orang-orang musyrik itu dengan hartam, diri dan lisanmu." (HR Abu Daud, An Nasa'i, Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim, Baihaqi, Baghawi dan Ibnu Asakir dari Anas ra). Ia bertanya lagi : "Apakah Jihad itu? Beliau menjawab: "Engkau perangi orang-orang kafir jika engkau menjumpai dimedan perang." Ia bertanya lagi : "Jihad macam mana yang paling utama?" Beliau menjawab : "Sesiapa yang dilukai anggota badannya dan dialirkan darahnya." (HR Ahmad).

Sebagaimana telah dinyatakan dalam pembahasan pengertian Jihad bahwa lafaz Jihad fie Sabilillah dinyatakan secara mutlak maka tiada lain yang dimaksud adalah jenis Jihad ini, yaitu Jihadul-Kuffar. Oleh itu jika status hukum Jihad ini sudah menjadi fardu a'in maka kewajiban ini tidak dapat diganti dengan dakwah dan infaq atau amal-amal lainnya selain Jihad. Adapun yang dimaksud dengan kaum Kuffar ialah Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani), Majusi, Shobiah dan Non Muslim lainnya. Ahli Kitab diarahkan untuk membuat pilihan : memeluk Islam, atau masuk jaminan kaum muslimin dengan membayar Jizyah atau Perang. Firman Allah: "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Allah), (yaitu orang-orang) yagn diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar Jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk." (QS At-Taubah ayat 29).

Abu Buraidah dari ayahnya, ia berkata, "Jika Rasulullah saw menyuruh seorang komandan perang atau sariyah, maka beliau saw berwasiat khas kepadanya agar bertakwa kepada Allah dan mewasiatkan kebaikan kepada orang-orang Muslim yang bersamanya, kemudian beliau saw bersabda: "Berperanglah kalian dengan nama Allah dan di jalan Allah. Perangilah orang-orang yang kufur kepada Allah. Berperanglah dan janganlah berlebih lebihan, berkhianat dan mendendam. Janganlah membunuh anak kecil. Jika kamu menghadapai musuh dari kalangan orang-orang musryik, maka serulah mereka kepada tiga hal. Mana saja diantara tiga hal itu yang mereka penuhi, maka terimalah dan tahanlah dirimu untuk tidak memerangi mereka. Kemudian serulah mereka kepada Islam. Jika mereka memenuhinya, maka terimalah dan tahanlah dirimu untuk tidak memerangi mereka. Kemudian serulah mereka agar berpindah dari daerah mereka ke daerah Muhajirin. Beritahukanlah mereka bahwa jika mereka mau melaksanakannya, maka mereka akan mendapatkan seperti yang didapatkan orang-orang Muhajirin dan berkewajiban seperti kewajiban orang-orang Muhajirin. Jika mereka menolak untuk berpindah dari sana, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka seperti orang asing bagi orang-orang Muslim. Hukum Allah berlaku atas mereka seperti yang berlaku atas orang-orang Mukmin. Mereka tidak mendapatkan sedikitpun dari harta rampasan perang dan Fa'i, kecuali jika mereka berperang bersama-sama orang Muslim. Jika mereka menolak hal itu maka mintalah Jizyah dari mereka. Jika mereka memenuhi seruanmu, maka terimalah dan tahanlah dirimu untuk tidak memerangi mereka. Jika mereka tetap menolak, maka mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka. (HR Muslim dan Ahmad).

Adapun bagi kaum Kuffar lainnya selain Ahli Kitab dan kaum Murtad dari Islam, mereka diarahkan untuk memilih diantara dua pilihan: masuk Islam atau Perang. Firman Allah: "Katakanlah kepada orang-orang Badui yang tertinggal:" Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam)...(QS Al-Fath 16).
Pafa Fukaha berbeda pendapat mengenai kaum kuffar selain Ahli Kitab :
Menurut Mazhab Hanfi: Didalam kitab Hasyiyah Ibnu Abidin, dinyatakan : Pasal Jizyah...Jizyah dibebankan kepada Ahli Kitabm, dan Majusi, dan Wathani (penyembah berhala) yang berbangsa Ajam (bukan Arab dan bukan orang murtad). Oleh itu Jizyah tidak diterima dari Wathani yang berbangsa Arab dan dari orang Murtad. Mereka hanya disuruh memilih masuk Islam atau Perang.
Menurut Mazhab Maliki: Didalam kitab Bulghatus - Salik dinyatakan : Pasal Jizyah : Harta yang dibebankan oleh Imam kepada orang kafir baik terhadap Ahli Kitab, orang Musyrik ataupun orang kafir selain mereka, walaupun kaum Quraisy.
Menurut Mahzab Syafi'i: Didalam kitab A-Um, Asy-Syafi'i menyatakan : Majusi itu beragama selain agama berhala, tapi dalam sebagian agama mereka berbeda pula dengan Ahli Kitab dari Yahudi dan Nashrani sebagaimana Yahudi dan Nasrani berbeda pula dalam sebagian agama mereka. Dan Majusi itu berada disatu kawasan bumi yang Ulama Salaf penduduk Hijaz tidak mengenal agama mereka sebagaimana mereka kenalnya terhadap agama Nasrani dan Yahudi. Dan Majusi itu adalah Ahli Kitab Wallahu A'lam, mereka tercakup pada satu nama Ahli Kitab bersama Yahudi dan Nasrani.
Menurut Mazhab Hambali: Didalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah menyatakan : Ahli Kitab dan Majusi diperangi sehingga mereka masuk Islam, atau mereka membayar Jizyah dalam keadaan hina, dan orang-orang kafir selain mereka diperangi hingga mereka masuk Islam.
4. Jihadul Murtaddien
Perbuatan orang Murtad disebut Riddah. Menurut bahasa: Riddah adalah mundur yaitu kembali dari sesuatu menuju sesuatu yang lain. jadi orang Murtad adalah orang yang kembali kepada kekafiran sesudah masuk Islam. Menurut Syara' : Riddah ialah kembali dari Islam kepada kekafiran. Jadi Murtad bermakna orang yang menjadi kafir sesudah memeluk Islam, baik dengan ucapan, keyakinan, keraguan ataupun dengan perbuatan. Seseorang atau sesuatu kumpulan boleh menjadi Murtad dengan melalui salah satu dari beberapa sebab berikut ini, antara lain:
1. Mempersekutukan Allah apakah melalui I'tikad, ucapan ataupun perbuatan seperti sujud kepada berhala atau berjalan ke gereja dengan fesyen orang Nashrani.
2. Mengingkari agama Islam atau satu rukun padanya, atau mengingkari satu hukum Islam yang dapat diketahui secara daruri.
3. Orang yang meng'itikadkan bahwa tidak wajib berhukum denga hukum yang diturunkan Allah. 4. Orang yang meninggalkan Sholat karena mengingkari kewajibannya, dan demikian pula jika ia mengingkari kewajiban sholat walaupun tidak meninggalkannya.
5.Orang yang meninggalkan sholat karena kesombongan atau kedengkian. 6. Orang yang meninggalkan sholat karena meremehkan dan memandang hina terhadap sholat. 7. Orang yang meninggalkan sholat, dan berterusan meninggalkannya hingga dibunuh 8. Orang yang meninggalkan sholat karena berpaling daripadanya, ia tidak mengakui kewajiban sholat dan tidak pula mengingkarinya.
9. Dan banyak lagi yang lainnya.

Perbuatan perbuatan diatas jika dilakukan oleh seorang yang baligh serta berakal, baik laki-laki maupun wanita dan perbuatan demikian dilakukan dengan inisiatif sendiri maka perbuatan itu menjadikannya Murtad.

Hukum mengenai orang murtad ini adalah dibunuh. Firman Allah: "Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya." (QS Al-Baqarah ayat 217). "Barangsiapa yang menukarkan agamanya maka bunuhlah ia." (HR Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa'i dan Ibnu Majah). "Dari Muhammad bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdul Qari dari bapanya, bahwa seorang laki-laki dari arah Abu Musa Al-Asy'ari telah datang kepada Umar ra, kemudian Umar ra berkata kepadanya: "Adakah sesuatau khabar dari sebelah barat?" Ia menjawab : " Ya...ada seseorang laki-laki menjadi kafir setelah ia memeluk islam." Umar berkata : "Apa yang telah kalian lakukan terhadapnya?"Ia menjawab: "Kami hampiri dia kemudian ia kami bunuh." Umar berkata: "Mengapa tidak kamu tahan selama 3 hari, kemudian kamu beri makan sepotong roti tiap harr, dan ia diminta bertaubat agar ia kembali kepada perintah Allah? ya...Allah, sesungguhnya aku masa itu tidak hadir, dan tidak menyuruh, dan aku tidak redha ketika khabar itu sampai kepadaku." (Riwayat Imam Malik didalam Al-Muwhata, dan Asy-Syafi'i).

Mengenai hukuman bagi perempuan yang murtad, Jumhur Fuqaha sepakat bahwa ia harus dibunuh juga kecuali menurut Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ia harus ditahan masuk Islam kembali atau ditahan sampai mati. "Telah thabit dari Abu Bakar ra : Bahwa beliau menghukum bunuh perempuan yang murtad." (HR Darquthuni). "Bahwa seorang perempuan yang biasa dipanggil Ummu Ruman telah murtad dari Islam. Kemudian urusan itu sampai kepada Nabi, maka Nabi menyuruhnya bertaubat jika ia bertaubat maka ia bebas, sedangkan jika ia tidak bertaubat maka ia harus dibunuh." Apakah memerangi orang yang murtad termasuk Jihad fie Sabillah dengan makna menurut syara'? Ya..., memerangi orang murtad termasuk Jihad fie Sabilillah dengan makna menurut syara', karena ta'rif jihad sesuai baginya yaitu: Memerangi orang kafir untuk meninggikan Kalimah Allah, sedangkan orang-orang murtad itu adalah orang-orang kafir dan memerangi mereka, untuk meninggikan kalimah Allah...bahkan Ibnu Qudamah penulis kitab Al-Mughni menetapkan bahwa memerangi kafir asli. Ibnu Qudamah berkata : mereka ini - yakni orang-orang Murtad - lebih berhak untuk diperangi, karena membenarkan mereka boleh jadi orang-orang seperti mereka membujuk uantuk menyerupai mereka dan murtad bersama mereka.
5. Jihadul Bughat al-Kharijin
Firman Allah: "Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS Al-Hujarat 9). Sabda Nabi saw: "Jika telah dibai'at bagi dua khalifah, maka bunuhlah yang terakhir diantara keduanya."
6. Jihadul Muhabirin al-Mufsidin
Firman Allah: "Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan akhirat mereka akan mendapatkan siksaan yang besar. Kecuali orang-orang yang taubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka: maka ketahuilah bahwasannya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Maidah 33-34).
7. Jihadul Munafiqin
Yaitu Jihad menghadapi orang-orang munafiq dengan lisan, menegakkan hujjah atas mereka, mencegah mereka dari sikap kekafiran yang tersembunyi, menjauhkan segala permainan dan langkah-langkah mereka, dan menolak terhadap perbuatan dan perilaku mereka dsb. Dan Jihad terhadap mereka ini merupakan satu jenis dari Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar. (Insya Allah uraiannya akan dibahas dalam makalah tersendiri) .
8. Jihaduz Zalimin
Yaitu Jihad terhadap orang-orang Fasik, Zalim, Ahli bid'ah dan pelaku kemungkaran. Dan Jihad terhadap mereka ini termasuk satu jenis Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar. (Insya Allah uraiannya akan dibahas dalam makalah tersendiri).

I. Tujuan Jihad Fie Sabilillah
Jihad bukanlah tujuan akhir dan bukan pula sasaran akhir akan tetapi jihad adalah jalan yang telah disyariatkan Allah untuk mewujudkan sasaran dan tujuan yang banyak. Antara lain:
1. Mencari keridhaan Allah azza wa jalla
"Karena itu, semestinyalah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang dijalan Allah. Barangsiapa yang berperang dijalan Allah, lalu ia gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan kami berikan kepadanya pahala yang besar." (QS An-Nisa ayat 74). "Dari Muaz bin Jabal ra, dari Rasulullah, beliau bersabda : "Perang itu ada dua. Barangsiapa yang (berperang) mencari wajah Allah, mentaati Imam, menginfakkan harta pilihan, memudahkan kawan, menjauhi perbuatan merusak, maka sesungguhnya tidur dan jaganya semuanya membuahkan pahala. Adapun orang yang berperang karena kesombongan, riya dan mencari kemasyuran, dan durhaka terhadap Imam serta membuat kerusakan dibumi maka sesungguhnya ia tidak akan kembali dengan rezeki yang cukup." (HR Abu Daud, An-Nasai dan Al-Hakim).
2. Untuk mengawal Da'watul Islam
Islam wajib disebarkan ke seluruh umat manusia diseluruh muka bumi dengan tidak membenarkan adanya berbagai rintangan yang memisahkan antara Da'i (Pendakwah) dan Mad'u (Yang di Dakwahi). Apakah rintangan itu berupa I'tiqadiyah fikriyyah, Siyasiyah Qanuniyyah, maupun madiyah askariyyah. Maka untuk mengawal perjalanan da'wah dan memeliharanya dari berbagai rintangan seperti tersebut diatas itu, Allah telah mensyariatkan Jihad fie Sabilillah. Dan selain itu, juga untuk memelihara kaum muslimin dari berbagai fitnah terhadap agama mereka, atau dari berbagai ancaman terhadap kehidupan, kehormatan, harta dan aqal mereka.

Mengapa Jihad Disyariatkan? Di dalam Al-Quranul Karim Allah telah memberitahukan kita kaum Muslimin tentang sikap dan niat orang-orang kafir terhadap Islam dan kaum Muslimin. Sikap mereka adalah menghalangi, berpaling, sombong, menentang, benci, menjajah, membunuh, memerangi, buruk, merusak dll. "Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepakamu dari Rabbmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian), dan mempunyai karunia yang besar." (QS Al-Baqarah 105). "Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS Al-Baqarah ayat 109). "Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kamauan mereka setelah datangnya pengetahuan kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi Pelindung dan Penolong bagimu." (QS Al-Baqarah ayat 120). "Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakan atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baikn Pembalas tipu daya." (QS Al-Anfal ayat 30). "Sesungguhnya orang-orang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian jadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahanamlah orang-orang kafir itu dikumpulkan." (QS Al-Anfal 36). "Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram." Katakanlah : "Berperang dalam bulan haram itu adalah dosa besar, tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil-haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) disisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya didunia dan di akhirat, dan mereka itulah panghuni neraka, mereka kekal didalamnya." (QS Al-Baqarah ayat 217).

Jika sikap dhomir dan niat mereka demikian keadaanya, maka tidak boleh tidak harus dihadapi dengan sikap yang sepadan (seimbang), yang dengan sikap ini, Dakwah, Da'i dan Risalah dapat selamat. Islam dan kaum muslimin menjadi aman. Dan sikap untuk menghadapi mereka ini Allah telah memilihnya dan telah menetapkannya buat kita dan ia merupakan sebaik-baiknya sikap dan jalan yang paling utama yaitu keharusan adanya penunjang Da'wah dan para Da'i, adanya Amal akan memotong pangkal kezaliman dan hal-hal yang melampui batas, dan yang memutuskan segals sumber kejahatan dan kerusakan. Keadaan yang demikian itu dapat wujud dengan adanya kekuatan da'wah, dan kekuatan penyebaran dan penjelasannya dengan disertai kekuatan fisik dan ketajaman pedang dan ujung tombak.

Dengan demikian, da'wah akan tersebar luas dimuka bumi baik dibelahan timur maupun dibelahan barat dengan berbagai rintangan yang dapat menghalangi. Dan jalanpun menjadi lapang bagi semua manusia, baik untuk memasuki Dienullah ataupun tidak, semata-mata karena pilihan dan kehendak mereka, bukan karena tekanan dan paksaan, dan bukan pula karena dihalangi dan dijauhkan dari da'wah Islam. Firman Allah : (QS An-Nisa 75, Al-Baqarah 193, Al-Anfal 39-40, Al-Baqarah 251, Al-Hajj 40-41). Rasulullah saw bersabda : "Aku diperintah memerangi manusia, sehingga mereka bersyahadat bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan aku Rasulullah. Apabila mereka telah mengatakan demikian maka terpeliharalah darah dan harta mereka daripadaku kecuali sebab haknya (mereka melakukan pelanggarang), sedangkan perhitungan mereka terpulang kepada Allah." (HR Bukhari, Muslim, An-Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

3. Mengokohkan Kaum Muslimin dan Melaksanakan Hukum Allah di Muka Bumi
"Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang yang kafir itu, jika mereka berhenti (dari kekufarannya), niscaya akan diampunkan dosa mereka yang telah lalu, dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu". Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah, dan (supaya) agama itu seluruhnya semata-mata untuk Allah. Kemudian jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah maha melihat apa yang mereka kerjakan. Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasannya Allah pelindung kamu. Dan Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baiknya penolong." (QS Al-Anfal 38-40). "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kalangan kamu (wahai Muhammad) bahwa ia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumu, sebagaimana Ia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Ia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan), sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadat kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS An;Nur ayat 55).
4. Ujian dari Allah untuk Menepis Orang-Orang Mu'min
"Dan Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman." (QS Al-Imran ayat 139). "Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada' [231] . Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim." (QS Al-Imran ayat 140). [231] Syuhada' di sini ialah orang-orang Islam yang gugur di dalam peperangan untuk menegakkan agama Allah. Sebagian ahli tafsir ada yang mengartikannya dengan "menjadi saksi atas manusia" sebagai tersebut dalam ayat 143 surat Al Baqarah. "Dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir." (QS Al-Imran ayat 141). "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar." (QS Al-Imran ayat 142). "Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS An-Nisa ayat 104).
5. Menghapuskan Penghambaan Manusia kepada Selain Allah dan Digantikan dengan Penghambaan kepada Allah Semata-Mata
Firman Allah: "Katakanlah: "Wahai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS Al-Imran ayat 64). "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk." (QS At-Taubah ayat 29). "Perangilah mereka supaya jangan ada fitnah, dan niscaya agama itu semata mata untuk Allah...(QS Al-Anfal ayat 39). Rasulullah saw bersabda: "Aku telah diutus menjelang hari kiamat dengan pedang, hingga manusia beribadah hanya kepada Allah saha, tiada sekutu bagi-Nya, rezekiku dijadikan-Nya dibawah bayangan tombakku, dan kerendahan serta kehinaan dijadikan-Nya terhadap orang-orang yagn menyalahi. Dan barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka." (HR Ahmad dan Tabrani).

Apa yang dikatakan Rabi bin Amir, Huzaifah bin Muhsin dan Mughira bin Syu'bah ketika ditanya oleh Rustum (Ketua tentara Parsi dalm perang Qadisiyyah), membuktikan tujuan Jihad ini, Rustum bertanya kepada mereka: "Apakah tujuan kamu datang kemari?" Mereka menjawab: "Allah mengutus kami untuk mengeluarkan siapa yang mau, dari memperhambakan diri kepada manusia kepada memperhambakan diri kepada Allah swt. Mengeluarkan manusia dari kesempitan dunia ini kepada keluasannya. Mengeluarkan manusia dari kezaliman agama-agama kepada keadilan Islam. Allah telah mengutuskan Rasulnya untuk tujuan ini supaya Rasul itu mengajarkan makhluk-Nya dengan agama-Nya. Barangsiapa yang menerimanya cara hidup ini maka kami akan kembali dan memulangkan kembali negerinya kepadanya. Tetapi barangsiapa yang tidak mau, maka kami akan terus memeranginya sehingga kami Syahid ataupun Menang."

J. Jihad, Jalan Menuju Kemuliaan
Seluruh uraian di atas lebih menegaskan bahwa jihad adalah perintah agama. Siapa pun yang mengaku muslim tidak boleh sama sekali melecehkan perkara jihad. Jihadlah yang membawa risalah Islam di masa Rasul SAW tersebar hingga seluruh jazirah Arab hanya dalam tempo 10 tahun. Jihad pula yang mengantarkan umat Islam meraih kejayaannya selama lebih dari 1000 tahun lamanya. Melalui jihad, tegaklah peradaban Islam nan agung, memberikan keamanan dan kesejahteraan bagi segenap manusia. Dan dari peradaban yang agung itu terpancar kemuliaan Islam, sekaligus tegak wibawa kaum muslimin.

Kini, ketika payung dunia Islam, khilafah Islamiyyah, telah runtuh. Jihad tidak lagi tegak. Dengan mudah musuh-musuh Islam melecehkan kaum muslimin, menindas, mencabik-cabik harkat dan martabatnya, mengusir bahkan membantainya. Palestina, Bosnia, Kosovo, Moro, bahkan Ambon adalah sederet bukti betapa lemahnya umat Islam untuk sekadar membela diri sekalipun. Bagaimana mungkin, di tengah situasi seperti ini, masih ada sebagian umat islam yang justru melecehkan ajaran Jihad? Secara individual, jihad merupakan jalan untuk meraih syahadah. Di sisi Allah, setinggi-tinggi derajat kematian, adalah syahid di medan jihad. Rasulullah SAW. bersabda: Setinggi-tinggi derajat kematian adalah kematian para syuhada. Orang yang mati syahid akan diampuni semua dosanya, dijamin masuk sorga tanpa hisab, Di akhirat akan didampingi 70 bidadari, dan ia sendiri mampu memberi syafaat kepada seluruh keluarganya.(Al-Hadits). Melihat ini, semestinya tak ada seorang muslim pun yang tidak ingin mati syahid. Hanya mereka yang hatinya telah tertambat pada gemerlapnya dunia dan mengabaikan pahala akhirat, merekalah yang membenci jihad.

K. Pelajarilah Tuntutan Jihad
Persoalan Jihad telah diutarakan dengan penuh penekanan dan pendetailan di dalam al-Qur'an. Telah sepakat para pengkaji al-Qur'an bahawa tiada 'ibadah' lain yang diutarakan sedetail Jihad. Allah SWT telah menurunkan banyak sekali surah-surah di dalam al-Qur'an yang membimbing umat Islam ke arah Jihad. Persoalan Jihad diutarakan dalam pelbagai cara, di dalam banyak ayat-ayat al-Qur'an. Ayat-ayat ini menerangkan dengan jelas matlamat dan manfaat daripada Jihad. Seorang Mujahid ditinggikan martabatnya dan banyak lagi ayat-ayat yang mengancam bala yang menimpa sekiranya Jihad ditinggalkan. Istilah Jihad-fie-sabilillah yang membawa maksud Jihad (berperang) pada Jalan Allah, digunakan sebanyak 26 kali di dalam al-Qur'an.

Perkataan Qital pula yang bermaksud 'Perang' secara jelas, digunakan dalam konteks Perang Pada Jalan Allah sebanyak 79 kali. Terdapat surah-surah yang diturunkan sepenuhnya menerangkan hukum-hukum dan keistimewaan-keistimewaan Jihad dan mengecam mereka yang meninggalkan Jihad. Contohnya surah Anfaal (juga dikenali sebagai surah Badr) dan surah Bara'ah (Taubah). Surah Baqarah, Nisa dan Maidah pula mempunyai bahagian-bahagian yang besar menyentuh persoalan Jihad. Surah Hadeed pula memberitahu tentang senjata-senjata dalam berjihad. Terdapat pula surah-surah yang dinamakan sempena nama-nama berkenaan peperangan seperti surah Ahzaab (perang Khandaq), Qitaal, Fath dan Saff. Nama-nama surah-surah ini jelas mengutarakan persoalan Jihad.

Dalam surah 'Adiyat, sumpah diangkat dengan menyebut kuda-kuda para Mujahideen manakal di dalam surah Nasr, kemenangan sedunia dan pengembagan Islam telah dinyatakan melalui Jihad. Sebenarnya, umat Islam yang membaca al-Qur'an dengan penuh penghayatan akan berkeinginan ke medan perang bagi mencapai realiti Jihad. Atas sebab yang satu inilah, pihak Kuffar telah berusaha keras untuk menjauhkan umat Islam daripada memahami dan menghayati al-Qur'an. Mereka tahu, seseorang Islam yang memahami dan menghayati al-Qur'an tidak mungkin menjauhkan dirinya dari Jihad.

Melalui Hadith-hadith pula kita lihat bagaimana Allah SWT memerintahkan Rasul-Nya yang dikasihi SAW untuk berperang dan mengobarkan orang-orang beriman agar berperang. Rasulullah SAW telah memenuhi kedua-dua tanggung-jawab ini dengan sempurna. Hasilnya, beribu-ribu Hadith Rasulullah SAW berkenaan dengan Jihad. Para ulama' Hadith telah mengumpulkan dan menyusun kata-kata dan perbuatan Rasulullah SAW berkenaan Jihad. Untuk membina pemahaman yang baik tentang Jihad, kitab-kitab Hadith ini perlu dipelajari. Lihatlah senarai di bawah semoga anda mudah mempelajarinya.
Sahih Bukhari mempunyai 241 bab di bawah tajuk Jihad.
Sahih Muslim mempunyai 100 bab di bawah tajuk Jihad.
Sharif Tirmizi mempunyai 115 bab di bawah tajuk Jihad.
Sharif Abu Dawood mempunyai 172 bab di bawah tajuk Jihad.
Sharif Nasai mempunyai 48 bab di bawah tajuk Jihad.
Sharif Ibne Majah mempunyai 46 bab di bawah tajuk Jihad.
Dll.

Selain dari kitab-kitab am yang kebanyakan akan menyebut tentang Jihad kerana kepentingan dan ketinggiannya, terdapat juga kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama' sepenuhnya tentang jihad, diantaranya:

Abu Sulaiman Dawood bin Ali Dawood Al-Asfahani At-Tahiri. Meninggal dunia 270 Hijrah.
Ahmad bin Amar bin Sahaq As-Shaybani Abu Bakr juga dikenali sebagai Ibne Asim. Meninggal dunia 287 Hijrah.
Abu Sulaiman bin Nazeer Al-Qurtubi Al-Maliki. Meninggal dunia 318 Hijrah.
Ibrahim bin Hammal bin Ishaq Al-Azdi Al-Maliki. Meninggal dunia 323 Hijrah.
Abu Sulaiman Ham bin Muhammad Al-Katabi. Meninggal dunia 388 Hijrah.
Abu Bakr Muhammad bin At-Tayyab Al-Baqilani. Meninggal dunia 403 Hijrah.
Takiyudeen Abdul Gani Bin Abdul Wahid Bin Ali Al-Jamaily Al-Maqdasi. Meninggal dunia 600 Hijrah.
Abu Muhammad Kasim Bin Ali Bin Hasan Bin Hibatullah, dikenali sebagai Ibne Asakir. Meninggal dunia 600 Hijrah.
Izzudeen Ali Bin Muhammad Al-Jazari, dikenali sebagai Ibne Ashir. Meninggal dunia 630 Hijrah.
Bahaudeen Abul Mahasin Yusuf Bin Rafe, dikenali sebagai Ibne Shadad Al-Marsau Al-Habali. Meninggal dunia 632 Hijrah.
Abu Muhammad Izzudeen Abdul Aziz Bim Sallam Assolamy. Meninggal dunia 660 Hijrah.
Ammadudeen Ismael Bin Umar, dikenali sebagai of Ibne Kathir Al-hafiz Ad-Dimashqi. Meninggal dunia 774 Hijrah.
Ali Bin Mustafa Alaudeen Al-Bosnawy Ar-Romy Al-Hanafi, famous by the name of Ali Dada. Died 1007 Hijrah.
Hishamudeen Khalil Al-Barsawy Ar-Romy. Meninggal dunia 1072 Hijrah.
Salah satu daripada kitab yang paling penting tentang Jihad ditulis oleh Imam Abu Abdur Rahman Abdullah Bin Mubarak Al-Mirwazi Alhansal yang diberi nama Kitabul Jihad. Kitab-kitab berikut pula agak terkini penulisannya:
• Ayatul Jihad Fil Quranil Karim. Dr. Kamil Silaka Addakas.
• Kitabul Atharil Harb Fil Fiqhil Islami. Dr. Dahba Zahely.

Dalam era kita pula, bahan-bahan rujukan yang sangat baik untuk persoalan Jihad telah ditulis oleh Asy-Shaheed Abdullah Azzam. Syukur kepada Allah SWT kerana hasil kerja Dr. Abdullah Azzam yang sungguh bermutu dan menyentuh setiap pembacanya. Seolah-oleh beliau dipilih untuk menegakkan semula kewajipan yang telah dilupakan ini. Ratusan tulisan dan ucapan Dr. Abdullah Azzam telah membentuk ruh yang baru untuk Ummah ini. Hasil karya beliau merupakan satu babak baru dalam lipatan sejarah. Penulisan-penulisan beliau digarap dari ilmu yang baik dan keimanan yang jelas membawa kepada kecintaan kepada Shaheed. Setiap anggota Ummah ini tentu dapat memperolehi sesuatu dari kitab-kitab ulama' dan penulis ini, Asy-Shaheed Dr. Abdullah Azzam. Selain Dr. Abdullah Azzam, ramai lagi yang telah menulis risalah-risalah dan mengumpulkan 40 hadith-hadith tentang persoalan Jihad.




*Tulisan di atas dihimpun dan diolah dari berbagai sumber.

Rabu, 12 Desember 2007

PAKAIAN DAN JILBAB DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Tulisan di bawah ini dihimpun dari berbagai sumber, dibuat sebagai rasa kasih sayang terhadap putri-putriku di sekolahku tercinta, dan rasa kecemasanku terhadap fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, betapa wanita dan remaja-remaja putri yang notabene beragama Islam sangat jauh berbusananya dari nilai-nilai Islam, betapa gempuran budaya kaum Yahudi dan Nasrani telah berhasil membius remaja-remaja Islam agar mereka menjauh dari Islam. Ya Allah! Berikanlah hidayah kepada wanita dan remaja putri untuk berbusana muslimah, jauhkanlah mereka dari godaan-godaan syetan, dan jadikanlah mereka pembela dan pejuang agama-Mu. Kuatkanlah keimanan dan ketaqwaan para lelaki Muslim dalam menghadapi tantangan dan godaan perempuan-perempuan yang jauh dari ajaran-Mu.


"Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al Ahzaab (33) : 59).




Banyak kesalahpahaman terhadap Islam di tengah masyarakat. Misalnya saja jilbab. Tak sedikit orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah kerudung. Padahal tidak demikian. Jilbab bukan kerudung. Kerudung dalam Al Qur`an surah An Nuur : 31 disebut dengan istilah khimar (jamaknya : khumur), bukan jilbab. Adapun jilbab yang terdapat dalam surah Al Ahzab : 59, sebenarnya adalah baju longgar yang menutupi seluruh tubuh perempuan dari atas sampai bawah.


Kesalahpahaman lain yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa busana muslimah itu yang penting sudah menutup aurat, sedang mode baju apakah terusan atau potongan, atau memakai celana panjang, dianggap bukan masalah. Dianggap, model potongan atau bercelana panjang jeans oke-oke saja, yang penting ‘kan sudah menutup aurat. Kalau sudah menutup aurat, dianggap sudah berbusana muslimah secara sempurna. Padahal tidak begitu. Islam telah menetapkan syarat-syarat bagi busana muslimah dalam kehidupan umum, seperti yang ditunjukkan oleh nash-nash Al Qur`an dan As Sunnah.


Menutup aurat itu hanya salah satu syarat, bukan satu-satunya syarat busana dalam kehidupan umum. Syarat lainnya misalnya busana muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau mencetak lekuk tubuh perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi kalau mencetak tubuh alias ketat –atau menggunakan bahan tekstil yang transparan-- tetap belum dianggap busana muslimah yang sempurna.


Karena itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat kembali kepada ajaran Islam secara murni serta bebas dari pengaruh lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat rusak di tengah masyarakat sekuler sekarang. Memang, jika kita konsisten dengan Islam, terkadang terasa amat berat. Misalnya saja memakai jilbab (dalam arti yang sesungguhnya). Di tengah maraknya berbagai mode busana wanita yang diiklankan trendi dan up to date, jilbab secara kontras jelas akan kelihatan ortodoks, kaku, dan kurang trendi (dan tentu, tidak seksi). Padahal, busana jilbab itulah pakaian yang benar bagi muslimah.


Di sinilah kaum muslimah diuji. Diuji imannya, diuji taqwanya. Di sini dia harus memilih, apakah dia akan tetap teguh mentaati ketentuan Allah dan Rasul-Nya, seraya menanggung perasaan berat hati namun berada dalam keridhaan Allah, atau rela terseret oleh bujukan hawa nafsu atau rayuan syaitan terlaknat untuk mengenakan mode-mode liar yang dipropagandakan kaum kafir dengan tujuan agar kaum muslimah terjerumus ke dalam limbah dosa dan kesesatan.


Berkaitan dengan itu, Nabi SAW pernah bersabda bahwa akan tiba suatu masa di mana Islam akan menjadi sesuatu yang asing –termasuk busana jilbab-- sebagaimana awal kedatangan Islam. Dalam keadaan seperti itu, kita tidak boleh larut. Harus tetap bersabar, dan memegang Islam dengan teguh, walaupun berat seperti memegang bara api. Dan in sya-allah, dalam kondisi yang rusak dan bejat seperti ini, mereka yang tetap taat akan mendapat pahala yang berlipat ganda. Bahkan dengan pahala lima puluh kali lipat daripada pahala para shahabat. Sabda Nabi SAW : “Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” (HR. Muslim no. 145). “Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan kesabaran. Kesabaran pada masa-masa itu bagaikan memegang bara api. Bagi orang yang mengerjakan suatu amalan pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh orang yang mengerjakan semisal amalan itu. Ada yang berkata,’Hai Rasululah, apakah itu pahala lima puluh di antara mereka ?” Rasululah SAW menjawab,”Bahkan lima puluh orang di antara kalian (para shahabat).” (HR. Abu Dawud).


A. Pakaian dalam Tinjauan Islam
Salah satu perbedaan sistem Islam dengan sistem Kapitalis adalah bahwa sistem Kapitalis memandang persoalan sosial dan rumah tangga dianggap sebagai masalah ekonomi, sedangkan sistem Islam masalah-masalah di atas dibahas tersendiri dalam hukum-hukum seputar interaksi pria-wanita (nizhâm al-ijtima’iyyah). Misalnya dalam sistem kapitalisme tidak ada istilah zina jika laki-laki dan perempuan melakukan hubungan suami isteri tanpa ikatan pernikahan asal dilakukan suka-sama suka atau saling menguntungkan sebaliknya disebut pelecehan seksual dan pelakunya dapat diajukan ke pengadilan jika seorang suami memaksa dilayani oleh seorang isteri sementara isterinya menolak.

Karena itu dalam persoalan pakaian antara penganut sistem kapitalis dan sistem Islam jelas perbeda. Dalam sistem kapitalis pakaian dianggap sebagai salah satu ungkapan kepribadian, sebagai unsur penarik lawan jenis dan karena itu memiliki nilai ekonomis. Bentuk tubuh seseorang –apalagi wanita– sangat berpengaruh terhadap makna kebahagiaan dan masa depan.

Adapun Islam menganggap bahwa pakaian digunakan memiliki karakteristik yang sangat jauh dari tujuan ekonomis apalagi yang mengarah pada pelecehan penciptaan makhluk Allah. Karena itu di dalam Islam:
1.
Pakaian dikenakan oleh seorang muslim maupun muslimah sebagai ungkapan ketaatan dan ketundukan kepada Allah, karena itu berpakaian bagi seorang muslim memiliki nilai ibadah. Karena itu dalam berpakaian iapun mengikuti aturan yang ditetapkan Allah.
2.
Kepribadian seseorang ditentukan semata-mata oleh aqliyahnya (bagaimana dia menjadikan ide-ide tertentu untuk pandangan hidupnya) dan nafsiyahnya (dengan tolok ukur apa dan seberapa banyak dia berbuat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan melampiaskan nalurinya).
3.Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama, yang membedakan adalah takwanya.


Melalui cara berpakaian yang Islami, sesungguhnya Allah juga berkehendak memuliakan manusia sebagai makhluk yang memang telah Allah ciptakan sebagai makhluk yang mulia. Sebaliknya dengan tidak mengikuti cara berpakaian sesuai yang dikehendaki Allah, menyebabkan kedudukan manusia jatuh. Walhasil seorang muslim dan muslimah wajib mengetahui aturan berpakaian agar dalam berpakaian dan berpenampilan ia akan mendapatkan ridha Allah, bukan sebaliknya mendapatkan murka Allah.


B. Pakaian Bagi Seorang Muslim

Pakaian yang dikenakan oleh seorang muslim haruslah memenuhi syarat tertentu, yakni:

1. Menutup aurat;
2. Tidak terbuat dari emas atau sutera;
3. Tidak menyerupai pakaian wanita;
4. Tidak menyerupai orang-orang kafir.


C. Aurat Laki-Laki
Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut, berdasarkan riwayat ‘Aisyah: Dari ‘Amr bin Syu’aib dari Bapaknya dari kakeknya, beliau menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Jika ada di antara kalian yang menikahkan pembantu, baik seorang budak ataupun pegawainya, hendaklah ia tidak melihat bagian tubuh antara pusat dan di atas lututnya.” [HR. Abu Dawud, no. 418 dan 3587].Rasulullah Saw bersabda: Aurat laki-laki ialah antara pusat sampai dua lutut. [HR. ad-Daruquthni dan al-Baihaqi, lihat Fiqh Islam, Sulaiman Rasyid].


Dari Muhammad bin Jahsyi, ia berkata: Rasulullah Saw melewati Ma’mar, sedang kedua pahanya dalam keadaan terbuka. Lalu Nabi bersabda: “Wahai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu itu, karena sesungguhnya kedua paha itu aurat.” [HR. Ahmad dan Bukhari, lihat Ahkamush Sholat, Ali Raghib]. Jahad al-Aslami (salah seorang ashabus shuffah) berkata: pernah Rasulullah Saw duduk di dekat kami sedang pahaku terbuka, lalu beliau bersabda: “Tidakkah engkau tahu bahwa paha itu aurat?” [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Malik, lihat Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni]. Juga Rasulullah Saw pernah berkata kepada Ali ra: “Janganlah engkau menampakkan pahamu dan janganlah engkau melihat paha orang yang masih hidup atau yang sudah mati.” [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, lihat Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni].


D. Larangan Memakai Emas Dan Sutera Bagi Laki-Laki
Larangan ini berdasarkan hadits: Diriwayatkan dari al-Bara’ bin Azib r.a katanya: “Rasulullah Saw memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara. Baginda memerintahkan kami menziarahi orang sakit, mengiringi jenazah, mendoakan orang bersin, menunaikan sumpah dengan benar, menolong orang yang dizalimi, memenuhi undangan dan memberi salam. Baginda melarang kami memakai cincin atau bercincin emas, minum dengan bekas minuman dari perak, hamparan sutera, pakaian buatan Qasiy yaitu dari sutera, serta mengenakan pakaian sutera, sutera tebal dan sutera halus.” [HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad, CD Al-Bayan 1212].

E. Larangan Menyerupai Wanita
Seorang laki-laki dilarang bertingkah laku, termasuk berpakaian menyerupai wanita dan sebaliknya seorang wanita bertingkah laku termasuk berpakaian seperti laki-laki.

F. Larangan Menyerupai Orang Kafir
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil kuffar) dilarang bagi muslim maupun muslimah. Tasyabbuh dapat dilakukan melalui pakaian, sikap, gaya hidup maupun pandangan hidup.

Bagi seorang laki-laki pakaian yang harus dikenakan sama, apakah dia di dalam rumah, di luar rumah, di hadapan mahram atau bukan, kecuali di hadapan isteri.


G. Pakaian Bagi Seorang Muslimah
Adapun pakaian yang dikenakan oleh seorang muslimah haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3.
Tidak tembus pandang;
4.
Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5.
Tidak tabarruj;
6.
Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7.
Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.


Rincian masing-masing persyaratan di atas berbeda-beda berdasarkan:
1. Keberadaan wanita di tempat umum atau di tempat khusus.
2. Keberadaan wanita di hadapan mahram atau bukan atau di hadapan suami atau bukan.


Penampilan wanita dibedakan antara tempat khusus dan tempat umum. Misalnya di dalam rumah sendiri seorang wanita boleh membuka jilbabnya dan hanya memakai mihnahnya, kecuali jika ada tamu laki-laki non muhrim. Adapun di tempat umum penampilan wanita dibatasi dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a. Kewajiban menutup aurat, seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.
b.
Kewajiban menggunakan pakaian khusus di kehidupan umum, yaitu kerudung (khimar) dan jilbab (pakaian luar yang luas (seperti jubah) yang menutup pakaian harian yang biasa dipakai wanita di dalam rumah (mihnah), yang terulur langsung dari atas sampai ujung kaki.
c.
Larangan tabarruj (menonjolkan keindahan bentuk tubuh, kecantikan dan perhiasan di depan laki-laki non muhrim atau dalam kehidupan umum).
d.
Larangan tasyabbuh terhadap laki-laki.


Khusus untuk wanita menopause diperbolehkan Allah untuk melepaskan jilbabnya hanya saja tetap diperintahkan untuk tidak tabarruj, sehingga diperbolehkan baginya menggunakan baju panjang selapis/tidak rangkap (bukan jilbab) model apa saja selama tidak menampakkan keindahan tubuhnya seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain, Qs. an-Nûr [24]: 60).


Pakaian wanita di dalam rumahnya cukup menggunakan mihnah (kecuali ada tamu bukan mahrom, maka wajib menutup aurat yang harus ditutup di hadapan bukan mahrom). Di hadapan mahrom maka cukup menggunakan mihnah (kecuali di tempat umum maka harus memenuhi pakaian wanita di tempat umum), di hadapan suami tidak ada keharusan menutup bagian tubuhnya (walaupun dianjurkan tidak telanjang).


H. Aurat Wanita
Pembahasan aurat wanita dibagi menjadi tiga keadaan, yaitu:

1. Di hadapan suami mereka maka wanita boleh menampakkan seluruh bagian tubuhnya (berdasarkan hadits riwayat Bahz bin Hakim).

2. Di hadapan muhrimnya dan orang-orang yang disebut dalam Qs. an-Nûr [24]: 31 dan Qs. an-Nisâ’ [4]: 23 maka baginya boleh menampilkan bagian tertentu dari anggota tubuhnya yang biasa disebut mahaluzzinah yaitu anggota badan yang biasanya dijadikan tempat perhiasan, seperti: kepala seluruhnya, tempat kalung (leher), tempat gelang tangan (pergelangan tangan) sampai pangkal lengan dan tempat gelang kaki (pergelangan kaki) sampai lutut. Mahaluzzinah ini biasa tampak ketika wanita memakai baju dalam rumah (mihnah). Selain itu anggota tubuh lain boleh tampak termasuk apabila ada hajat seperti perut, payudara, kecuali aurat yang ada di antara pusar dan lutut. Pemahaman mahaluzzinah ini diambil dari firman Allah SWT:….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali” (Qs. an-Nûr [24]: 31).


Kata zinah yang secara bahasa berarti perhiasan, tetapi bukanlah perhiasan yang biasa dipakai orang tetapi makna zinah di sini adalah anggota badan yang merupakan tempat perhiasan (mahaluzzinah), karena illa mâ zhahara minha yang dimaksud adalah yang biasa nampak pada saat itu (saat ayat ini turun) yaitu muka dan telapak tangan, jadi menyangkut anggota badan.
1. Adapun di hadapan laki-laki selain suami dan muhrimnya maka aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Dasar dari penentuan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, yaitu:….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nûr [24]: 31). Sedangkan yang dimaksud dengan yang biasa nampak daripadanya adalah wajah dan telapak tangan. Karena dua bagian ini yang biasa nampak dari wanita muslimah di hadapan Rasul Muhammad Saw (baik dalam sholat, haji maupun dalam kehidupan sehari-hari di luar sholat dan haji) dan Rasul mendiamkannya sementara ayat-ayat al-Qu’ran masih turun. Tafsir mengenai hal ini, Ibnu Abbas menyatakan yang dimaksud dengan illa mâ zhahara minha adalah muka dan tangan, juga dari Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menyatakan “Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa nampak adalah muka dan telapak tangan.” (Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jld. 18, hal. 94). Hal tersebut diperkuat dengan sabda Rasul Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar: “Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini. Beliau menunjuk pada wajah dan telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud, No. 3580]. Qs. an-Nûr [24]: 31 turun sebelum ayat tentang jilbab sehingga ayat ini hanya menyampaikan batasan aurat dan perintah memakai kerudung. Sedangkan kewajiban berjilbab akan dibahas menyusul.

Adapun berkaitan dengan apa aurat itu ditutup, maka sesungguhnya syara’ tidak menentukan pakaian tertentu untuk menutup aurat, tetapi hanya memberikan beberapa syarat yaitu:
1. Pakaian itu tidak menampakkan aurat (dapat menutup semua aurat).
2. Pakaian itu dapat menutup kulit, sehingga tidak diketahui warna kulit dari wanita yang memakainya, yaitu apakah kulitnya putih, merah, kuning, hitam dan lain-lain. Apabila tidak memenuhi syarat tersebut tidak dapat diianggap sebagai penutup aurat. Jika pakaian itu tipis misal brokat, kerudung tipis, kaos kaki tipis, rukuh tipis dan lain-lain, sehingga kelihatan warna kulit (rambut) si pemakai pakaian itu, maka wanita yang memakai pakaian tersebut dianggap auratnya tampak atau tidak menutupi auratnya. Dalil bahwa syariat Islam telah mewajibkan menutup kulit sehingga tidak tampak warna kulitnya adalah hadits yang diriwayatkan dari A’isyah ra, beliau telah meriwayatkan bahwa Asma’ binti Abu Bakar datang kepada Rasulullah Saw dengan memakai baju yang tipis maka Rasulullah memalingkan wajahnya dari Asma’ dan bersabda: “Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini…” [HR. Abu Dawud, no. 3580]. Rasulullah dalam hadits di atas menganggap baju yang tipis belum menutup aurat dan menganggap auratnya terbuka, sehingga beliau memalingkan wajah dari Asma’ dan memerintahkan Asma’ untuk menutup aurat. Dalil lain yang memperkuat dalam masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan Usamah: “Perintahkan isterimu untuk mengenakan pakaian tipis lagi (gholalah) di bawah baju tipis tersebut. Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.” Rasulullah Saw ketika mengetahui Usamah memakaikan pakaian tipis itu pada isterinya, beliau menyuruhnya agar isterinya mengenakan pakaian tipis lagi di bawah pakaian tipisnya itu. Dan Rasulullah memberi illat pada masalah itu dengan sabdanya: “Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.”Artinya wanita harus menutup sifat dari tulangnya, tidak boleh menggunakan pakaian yang tipis, sehingga kelihatan warna kulitnya.


Dengan demikian wanita harus memperhatikan 2 syarat tersebut ketika memilih jenis dan bahan pakaian penutup aurat termasuk penutup aurat di depan mahrom dan wanita lain seperti celana 3/4 sampai lutut, daster dan lain-lain. Hanya saja apabila wanita selain yang menopause berada di luar rumah atau tempat-tempat umum (masjid, pasar, jalanan dan lain-lain) maka selain batasan aurat dan larangan tabarruj, terdapat ketentuan lain yang perlu diperhatikan yaitu adanya kewajiban menggunakan pakaian khusus yang telah diperintahkan Allah berupa khimar (kerudung) dan jilbab (jubah langsungan dari atas sampai ujung kaki), bukan pakaian lain seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain. Meskipun jenis baju tersebut menutup aurat tetapi bukan termasuk jilbab, oleh karena itu jenis pakaian tersebut hanya bisa dipakai oleh wanita yang sudah menopause dan sudah tidak punya keinginan seksual (Qs. an-Nûr [24]: 60). Untuk wanita menopause ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam berpenampilan yaitu tidak diperbolehkan tabarruj. Oleh karena itu celana panjang, kaos kaki panjang, kaos stret pas badan tidak boleh digunakan sebagai penutup aurat wanita menopause karena termasuk tabarruj (menonjolkan kecantikan dan perhiasan/bentuk tubuh). Untuk lebih detailnya tentang pakaian khusus di kehidupan umum maka dapat dilihat pada pembahasan selanjutnya.



I. Pakaian Wanita di dalam Kehidupan Umum
Dalam kehidupan umum, yaitu pada saat wanita berada di luar rumahnya/di hadapan laki-laki non mahrom, maka seorang wanita harus menggunakan pakaian secara sempurna, yakni:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.


Dalil-dalil mengenai masalah ini lihat lagi pembahasan di atas. Adapaun dalil lainnya adalah sebagai berikut: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkankhumur (kain kerudung) ke juyub (dada)-nya, dan janganlah menampakkan perhiasanyaa, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung’.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).


Kewajiban menggunakan khumur muncul dari perintah dan hendaklah mereka menutupkan khumur/kain kerudung ke juyub (dada)-nya. Khumur adalah jama’ dari khimar yaitu kerudung yang menutupi kepala, dan juyub adalah jama’ dari kata jaibun yaitu ujung pakaian (kancing pembuka) yang ada di sekitar leher dan di atas dada. Dengan kata lain khimar adalah kain yang menutupi kepala tanpa menutupi wajah, terulur sampai sampai menutupi ujung pakaian bawah (jilbab) yakni kancing baju di atas dada. Dengan demikian untuk bagian atas badan wanita diwajibkan mengenakan kerudung yang diulurkan sampai ujung pakaian (kancing pembuka)/di atas dada. Sedangkan bawahnya diperintahkan menggunakan jilbab/jubah. Dalil kewajibannya adalah sebagai berikut:
(1) Ungkapan Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka sebagaimana disebutkan dalamfirman Allah SWT:“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Ahzab [33]: 59).
(2) Kebolehan menanggalkan pakaian luar (jilbab) bagi wanita menopouse dengan ungkapan tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka sebagaimana dalam firman Allah SWT:
Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan (tabarruj), dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr [24]: 60).
(3) Ungkapan salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab, Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” Sebagimana dalam hadits dari Ummu ‘Athiyah ra. Berkata: Rasulullah memerintahkan kepada kami, nenek-nenek, wanita yang sedang haid, wanita pingitan untuk keluar pada hari raya Fitri dan Adha. Maka bagi wanita yang sedang haid janganlah sholat dan hendaklah menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Saya berkata: “Ya Rasulullah salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab”, Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (HR. Muslim, no 1475].

Pada
Qs. al-Ahzab [33]: 59 dan hadist dari Ummu ‘Athiyah, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan muslimah menggunakan sejenis pakaian yang disebut jilbab.

J. Pengertian Jilbab

Islam sebagai agama yang bersifat universal dalam arti mempunyai aturan-aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dimana di dalamnya terdapat aturan/hukum-hukum yang mengatur masalah pakaian baik itu bagi laki-laki maupun bagi perempuan, yang pada intinya pakaian itu baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan digunakan sebagai penutup aurat sebagaimana disebutkan di dalam Al Qur'an. Firman Allah :"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi 'auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman." (QS. Al A'raaf (7) : 26-27).

Sehingga yang menjadi permasalahan sekarang adalah manakah batas-batas aurat itu? Untuk aurat laki-laki sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Ahmad, dan Hakim adalah dari pusar sampai dengan lutut. Bagian itulah yang bagi laki-laki harus ditutup sedangkan bagian yang lainnya boleh ditampakkan. "Dari Muhammad bin Jahsy berkata: Rasulullah lewat di depan Ma'mar kedua pahanya terbuka, maka sabdanya : Hai Ma'mar ! Tutuplah kedua pahamu karena paha itu aurat." (HR. Bukhari, Ahmad, Hakim). Lalu dimanakah aurat wanita itu? Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dikatakan bahwa aurat wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan hingga pergelangan tangannya. "Hai Asmaa' ! Sesungguhnya seorang perempuan apabila telah datang waktu haidh, tidak patut diperlihatkan tubuhnya melainkan ini dan ini (Rasulullah berkata sambil menunjuk muka dan kedua telapak tangannya hingga pergelangannya)." (HR. Abu Dawud dari Aisyah r.a).

Di dalam Al Qur'an Allah berfirman yang artinya :"Katakanlah kepada wanita yang beriman:"Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". (QS. An Nuur (24) : 31).

Dari uraian diatas dapatlah kita ketahui bahwa jilbab merupakan pakaian yang lapang yang menutup aurat wanita (seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan sampai pergelangan tangan). Jadi pada pengertian tersebut jilbab berbeda dengan kerudung. Kerudung merupakan kain yang digunakan untuk menutupi kepala, leher, hingga dada sedangkan jilbab maliputi keseluruhan pakaian yang menutup mulai dari kepala sampai kaki kecuali muka dan telapak tangan hingga pergelangan tangan. Sehingga seseorang yang mengenakan jilbab pasti berkerudung tetapi orang yang berkerudung belum tentu berjilbab.

Dalam pandangan yang lain dikatakan bahwa pakaian wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu pakaian bawah (libas asfal) yang disebut dengan jilbab, dan pakaian atas (libas a'la) yaitu khimar (kerudung).Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di pasar-pasar.

Dalam kitab al-Mu'jam al-Wasith halaman 128, jilbab diartikan sebagai "Ats tsaubul musytamil `alal jasadi kullihi" (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau "Ma yulbasu fauqa ats-tsiyab kal milhafah" (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian (rumah), seperti milhafah/baju terusan), atau "Al Mula`ah tasytamilu biha al mar`ah" (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh wanita). Jadi jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah mengenakan kain terusan (dari kepala sampai bawah) (Arab: milhafah/mula` ah) yang dikenakan sebagai pakaian luar (di bawahnya masih ada pakaian rumah) lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya. Jadi, jilbab bukanlah kerudung dan bukanpula kain potongan (rok dan baju panjang), tapi baju terusan. Untuk pakaian atas, yaitu khimar, syariat telah mewajibkan kerudung atau apa saja yang serupa dengannya yang berfungsi menutupi seluruh kepala, leher, dan lubang baju di dada. Pakaian jenis ini harus dikenakan jika hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum.

Kajian lain mengungkapkan bahwa secara terminologi, dalam kamus yang dianggap standar dalam Bahasa Arab, akan kita dapati pengertian jilbab seperti berikut :
1. Lisanul Arab
: “Jilbab berarti selendang, atau pakaian lebar yang dipakai wanita untuk menutupi kepada, dada dan bagian belakang tubuhnya.”
2. Al Mu’jamal-Wasit
: “Jilbab berarti pakaian yang dalam (gamis) atau selendang (khimar), atau pakaian untuk melapisi segenap pakaian wanita bagian luar untuk menutupi semua tubuh seperti halnya mantel.”3. Mukhtar Shihah : “Jilbab berasal dari kata Jalbu, artinya menarik atau menghimpun, sedangkan jilbab berarti pakaian lebar seperti mantel.
Dari rujukan ketiga kamus di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa jilbab pada umumnya adalah pakaian yang lebar, longgar dan menutupi seluruh bagian tubuh sebagaimana disimpulkan oleh Al Qurthuby: “Jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh.” Bagi masyarakat Indonesia dan juga Malaysia, jilbab umumnya diartikan sebagai selendang yang menutupi kepala sampai leher dan dada. Definisi ini memang tidaklah bertentangan dengan definisi umum di atas karena disebutkan juga oleh Lisanul Arab ataupun Al Mu’jamal-Wasit dan dikutip Qurthuby berasal dari Ibnu Abbas yang mengartikan jilbab dengan rida’ atau selendang.

Setelah mempelajari pengertian umum dan pengertian secara terminologi tentang jilbab ada baiknya juga kita merujuk uraian para ulama tafsir mengenai jilbab, atau penafsiran mereka tentang surah Al Ahzab ayat 59:
  • Tafsir Ibnu Abbas : “Selendang atau Jilbab tudung wanita hendaklah menutupi leher dan dada agar terpelihara dari fitnah atau terjauh dari bahaya zina.”
  • Tafsir Qurthuby : “Alloh SWT memerintahkan segenap kaum muslimah agar menutupi seluruh tubuhnya, agar tidak memperagakan tubuh dan kulitnya kecuali dihadapan suaminya, karena hanya suaminya yang dapat bebas menikmati kecantikannya.”
  • Tafsir Ayatul Ahkam : “Memakai jilbab atau kerudung merupakan ibadah dalam rangka memenuhi firman Alloh Surah AL Ahzab ayat 59. Yang menegaskan bahwa bagi seorang Muslimah memakai jilbab itu sebanding dengan melaksanakan perintah sholat, karena keduanya sama-sama diwajibkan Al Qur’an. Apabila seorang muslimah menolak untuk memakai jilbab atau menutup auratnya, dan dengan sengaja untuk menentang hukum Alloh, berarti dia telh kafir atau murtad, karena menentang Al Qur’an. Apabila dia meninggalkan jilbab karena ikut-ikutan atau karena kelalaian belaka, dia termasuk orang-orang durhaka kepada Alloh.”
  • Tafsir Fii Zhilalil Qur’an : “Alloh memerintahkan kepada isteri-isteri nabi dan kaum muslimah umumnya agar setiap keluar rumah senantiasa menutupi tubuh, dari kepala sampai ke dada dengan memakai jilbab tudung yang rapat, tidak menerawang, dan juga tidak tipis. Hal demikian dimaksudkan untuk menjaga identitas mereka sebagai muslimah dan agar terpelihara dari tangan-tangan jahil dan kotor. Karena mereka yang bertangan jahil dan kotor itu, pasti akan merasa kecewa dan mengurungkan niatnya setelah melihat wanita yang berpakaian terhormat dan mulia secara islam.”

Dari uraian ulama tafsir di atas dapat kita simpulkan bahwa :

  • Para ulama tafsir umumnya sependapat bahwa memakai tudung menutupi aurat selain muka dan telapak tangan merupakan kewajiban yang mendasar bagi setiap kaum muslimah, apabila mereka akan keluar rumah, atau dalam rumah sendiri jika ada tamu selain muhrim.
  • Tidak seorang pun para ulama yang berpendapat bahwa menutup aurat selain muka dan telapak tangan itu hanya kewajiban muslimah dalam sholat. Karena memang tidak ada satu pun dalil Al Qur’an dan Sunnah yang mengatakan demikian.
  • Bentuk atau fesyen pakaian muslimah tidaklah diatur oleh Al Qur’an secara terperinci, yang utama adalah memenuhi syarat, yaitu menutupi seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan, tidak ketat, tidak tipis dan juga tidak membentuk lekuk tubuh (ketat).


Firman Alloh SWT : “Dan katakanlah (pula) kepada wanita yang beriman supaya mereka menundukkan pandangannya, dan memelihara kehormatannya. Dan janganlah memperlihatkan perhiasan kecuali yang biasa nampak saja, dan hendaklah mereka menutupi dada dengan selendang. Dan janganlah memperlihatkan perhiasan kecuali kepada : 1. Suami, 2. Ayah, 3. Mertua laki-laki, 4. Anak Laki-laki Tiri, 5. Saudara laki-laki, 6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki dan perempuan 7. Sesama wanita, 8. Hamba Sahaya, 9. Pelayan (laki-laki) yang sudah tidak mempunyai keinginan kepada wanita (karena sudah tua), 10. Anak laki-laki yang belum terpengaruh dengan aurat wanita. Dan janganlah mereka (wanita) menghentakkan kaki supaya diketahui orang perhiasan mereka yang tersembunyi dan taubatlah kamu sekalian kepada Alloh wahai orang-orang yang beriman agar kamu mendapat kemenangan.” (QS. An Nur, 024:031).


Dalam ayat ini antara lain Alloh memerintahkan pada kaum muslimah :

  • Agar tidak memamerkan perhiasan kecuali sekadar yang biasa terlihat darinya seperti cincin dan gelang tangan.
  • Wajib menutupi dada dan leher dengan selendang, kerudung atau jilbab.
  • Perhiasan hanya boleh diperlihatkan kepada sepuluh kelompok manusia yang disebutkan dalam ayat tersebut.
  • Jangan sengaja menghentakkan kaki agar diketahui atau didengar orang agar diketahui atau didengar orang perhiasan yang tersembunyi (gelang kaki dan lain-lain)

Sementara itu beberapa ulama berpendapat:

1. Ibnu Jarir At-Tabary (Wafat 310 H)
Kaum wanita tidak boleh memperlihatkan perhiasannya kepada laki-laki yang bukan muhrim, kecuali perhiasan zahir saja. Perhiasan itu ada dua macam, pertama yang tersembunyi seperti gelang tangan atau kaki, subang dan kalung. Kedua, yang nampak. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama, antara lain ada yang berpendapat perhiasan yang nampak yaitu pakaian. Yang lainnya berpendapat perhiasan zahir adalah cincin, sipat mata (eye liner) dan muka. Sedangkan yang lainnya lagi berpendapat, perhiasan yang nampak adalah muka dan telapak tangan.
2. Ibnu Araby (468-543 H)
Perhiasan ada 2 macam, asli dan buatan. Yang asli seperti muka yang merupakan induk sumber hiasan kecantikan. Dan hiasan buatan seperti pakaian, make up atau alat-alat kecantikan, dan lain-lain. Ada perbedaan pendapat ulama tentang hiasan yang nampak. Pendapat pertama, yaitu pakaian (Ibnu Mas’ud), kedua yaitu celak dan cincin (Ibnu Abbas), ketiga yakni muka dan tapak tangan.
3. Ibnu Katsir (Wafat 774 H)
Seorang wanita muslimah tidak dibolehkan memperlihatkan perhiasan kepada kepala laki-laki yang bukan muhrim, kecuali perhiasan yang susah untuk menutupinya seperti selendang dan baju (mengikut Ibnu Mas’ud) dan menurut Ibnu Abbas, muka dan kedua telapak tangan serta cincin.

Demikianlah yang disimpulkan dari pendapat para ulama tafsir tentang aturan dan hukum tentang perhiasan atau bagaimana tubuh wanita yang boleh terlihat oleh laki-laki yang bukan muhrim, umumnya mereka berpendapat bahwa yang boleh terlih pada tubuh wanita hanyalah muka dan telapak tangan serta perhiasan yang melekat pada keduanya. Batasan demikian boleh dirujuk kepada hadits Nabi SAW yang berbunyi :“Diceritakan oleh Siti Aisyah r.a., bahwa adiknya yang bernama Asma binti Abu Bakar pernah datang menghadap Rosululloh dengan berpakaian agak tipis, lalu Rosululloh berpaling dan bersabda, ‘Wahai Asma, bila seorang wanita telah baligh tidak boleh lagi terlihat kecuali ini dan ini. Lalu Rosululloh SAW menunjukkan pada muka dan tapak tangan beliau.”(H.R. Abu Dawud). “Aisyah Ummul Mukminun r.a., menceritakan pada suatu hari saya pernah keluar rumah untuk menemui anak saudaraku Abdullah bin Taufalid dengan memakai perhiasan, lalu Rosululloh SAW marah, maka aku jawab, bukankah dia hanya anak saudaraku wahai Rosululloh? Dan beliau pun menjawab, apabila seorang wanita telh baliqh (datang haid) tidak halal terlihat dari tubuhnya kecuali muka dan ini. Kata beliau, seraya menggenggam pergelangan tangannya dengan meninggalkan jarak satu genggaman pula dengan telapak tangan”.(H.R. Ath Thabary)

Dari rujukan Al Qur’an dan hadits yang kita sebutkan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa :
  • Pakaian Wanita Muslimah itu wajib menutupi aurat,
  • Batas aurat wanita adalah muka dan tapak tangan,
  • Kewajiban menutupi aurat itu berlaku setiap waktu di dalam dan di luar sholat, karena tidak satupun dalil yang mengatakan bahwa aurat wanita hanya ditutupi waktu sholat. Dan ayat Al Qur’an serta hadits di atas hubungannya bukan dalam hal sholat, tapi berlaku umum.

Bottom of Form

K. Kewajiban Berjilbab bagi Muslimah
Seorang muslimah adalah seorang wanita yang mengaku dirinya beriman kepada Allah dimana keimanannya itu diyakini dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan diwujudkan dengan perbuatan sehari-hari. Dan pengamalan dari keimanan ini adalah dengan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Mengenakan jilbab bagi seorang wanita adalah merupakan suatu perintah dari Allah SWT dimana hukumnya adalah wajib yang bila dikerjakan berpahala dan bila ditinggalkan berdosa. Hal ini didasarkan atas perintah Allah dalam surat Al Ahzaab ayat 59 dan surat An Nuur ayat 31 diatas.


Dari dua ayat ini jelas bahwa Allah mewajibkan wanita beriman untuk mengenakan jilbabnya /kerudungnya kecuali kepada orang-orang tertentu seperti yang tercantum dalam surat An Nuur : 31 diatas yaitu :"Dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita"


Jadi amatlah disayangkan apabila kita menjumpai saudara-saudara kita muslimah yang memakai jilbabnya hanya untuk kepentingan-kepentingan tertentu saja seperti pada waktu sekolah, mengajar, kuliah, dsb. Tetapi diluar itu apabila dia keluar rumah tidak memakai jilbabnya. Marilah kita perhatikan dan kita renungkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi dari Ibnu Mas'ud :"Perempuan itu adalah aurat, maka apabila ia keluar dari rumahnya maka syetanpun berdiri tegak (dirangsang olehnya)" (HR. Turmudzi).


L. Hikmah Memakai Jilbab dalam Kehidupan Sehari-Hari
Begitu pentingnya jilbab bagi seorang muslimah sehingga dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:"Telah berkata Ummu 'Athiyah saya bertanya : 'Ya Rasulullah apakah salah seorang dari kami dinyatakan bersalah bila ia tidak keluar (pergi ke tanah lapang) karena ia tidak mempunyai jilbab ?' Maka sabdanya : 'Hendaklah temannya meminjamkan jilbab untuknya'." (HR. Bukhari Muslim). Jadi Rasulullah mewajibkan seorang muslimah untuk mengenakan jilbabnya dalam keadaan apapun, begitu pentingnya hal ini sehingga apabila seorang muslimah tidak mempunyai jilbab beliau menyuruh temannya untuk meminjaminya.

Berikut ini beberapa hikmah dari diwajibkannya jilbab bagi seorang muslimah :

a) Sebagai identitas seorang muslimah

Allah memberikan kewajiban untuk berjilbab agar para wanita mukmin mempunyai ciri khas dan identitas tersendiri yang membedakannya dengan orang-orang non muslim. Dalam sebuah hadits dikatakan :"Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka." (HR. Abu Dawud).

b) Meninggikan derajat wanita muslim (muslimah)

Dengan mengenakan jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak membuka auratnya di sembarang tempat, maka seorang muslimah itu bagaikan sebuah batu permata yang terpajang di etalase yang tidak sembarang orang dapat mengambil dan memilikinya. Dan bukan seperti batu yang berserakan di jalan dimana setiap orang dapat dengan mudah mengambilnya, kemudian menikmatinya, lalu membuangnya kembali. Allah berfirman :

"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An Nahl (16) : 97)

c) Mencegah dari gangguan laki-laki tak bertanggung jawab

Hal ini mudah dipahami karena dengan seluruh tubuh tertutup kecuali muka dan telapak tangan, maka tidak akan mungkin ada laki-laki iseng yang tertarik untuk menggoda dan mencelakakannya selama ia tidak berperilaku yang berlebih-lebihan. Sehingga kejadian-kejadian seperti perkosaan, perzinaan, dsb dapat dihindarkan. "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al Israa' (17) : 32).

d) Memperkuat kontrol sosial

Seorang yang ikhlas dalam menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya khususnya dalam mengenakan busana muslimah, Insya Allah ia akan selalu menyadari bahwa dia selalu membawa nama dan identitas Islam dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga apabila suatu saat dia melakukan kekhilafan maka ia akan lebih mudah ingat kepada Allah dan kembali ke jalan yang diridhoiNya.


M. Khatimah
Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa dengan diwajibkannya jilbab sebagai busana muslimah ternyata banyak membawa manfaat dan hikmah bagi yang memakainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah:"Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS.Ali Imran (3) : 191).

Demikianlah sebagai penutup marilah kita renungkan firman Allah dalam surat Al Baqarah 85 berikut :"Apakah kamu beriman kepada sebagian dari Al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat."(QS. Al Baqarah (2) : 85). “Islam melarang wanita Muslimah untuk memakai pakaian yang tipis dan jarang, karena jelas pakaian tersebut akan menimbulkan fitnah dan subhat, baik terhadap dirinya sendiri ataupun kepada masyarakat sekitar.”