THE LIGHT OF AL-QUR'AN

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

MY SCHOOL LAST TIME

MY PHOTOS

Rabu, 24 November 2010

Betapa Berharganya Profesi Guru

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tahun 2000 peringkat Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada posisi 109. Lima tahun kemudian (tahun 2005) turun menjadi peringkat 112, dan pada tahun 2010 naik lagi ke peringkat 108 dari 150 negara di dunia (The Jakarta Post, edisi 8 November 2010).

Terdapat tiga faktor untuk mengukur peringkat IPM Indonesia, yaitu faktor pendidikan, derajat kesehatan, dan tingkat daya beli. Salah satu dari ketiga faktor tersebut yang sangat menentukan dan berperan penting adalah faktor pendidikan.
Berbicara masalah pendidikan di negara kita tidak terlepas dari pembicaraan masalah guru. Maka Peringatan Hari Guru Nasional dan HUT PGRI yang ke-65 pada tanggal 25 November 2010, mengingatkan kembali kepada kita tentang perbincangan mengenai profesi guru. Sebuah profesi yang saat ini lagi ‘diburu’, disorot, dan ‘dimanjakan’. Sebuah profesi yang menurut versi ‘guru’ bahwa di dunia ini hanyalah ada dua profesi, yaitu guru dan nonguru.

Guru yang mempunyai makna A person whose occupation is teaching others (seseorang yang pekerjaannya mengajar orang lain) merupakan pekerjaan mulia, penting, dan sangat strategis bagi kelangsungan kualitas pendidikan di Indonesia. Guru sebagai komponen utama pendidikan menempati posisi yang sangat terhormat. Hal ini dikarenakan tugas dan tanggung jawabnya yang berkaitan dengan jiwa anak didik. Hitam putihnya jiwa anak didik, salah satunya sangat bergantung pada guru.

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Tidak akan dijumpai sedikitpun dalam dada atau pundak guru serentetan bintang tanda jasa. Beda halnya dengan tentara, polisi, jaksa, hakim, dan lain-lain. Pak Sukarno, Suharto, Habibie, Megawati, Gus Dur, SBY, mereka bisa menjadi presiden karena hasil cetakan para guru. Guru bisa mencetak presiden, tapi belum tentu presiden bisa mencetak guru. Guru bisa mencetak gubernur, akan tetapi belum tentu gubernur bisa mencetak guru. Semua bisa dan pernah merasakan duduk di kursi kekuasaan lantaran guru yang ‘mendorongnya' untuk duduk di kursi itu.
Guru bukan hanya berfungsi pengajar yang tugasnya menyampaikan sejumlah materi atau mata pelajaran di depan kelas, tetapi juga lebih dari itu guru adalah teladan (uswah) akhlak terhadap anak didiknya. Guru adalah sosok yang “digugu dan ditiru’. Ada ungkapan “Guru Ratu Wong Atua Karo”, guru diibaratkan sebagai pandita Ratu yang segala titahnya wajib ditiru. Guru harus merupakan cerminan insan kamil yang memiliki kesempurnaan. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga agama (Islam) menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan Nabi dan Rasul, sebab guru selalu terkait dengan ilmu pengetahuan sedangkan agama (Islam) sangat menghargai ilmu pengetahuan. Bahkan Allah SWT akan meninggikan derajat orang yang berilmu, sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-Mujadilah ayat 11: "Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Islam mengangkat derajat orang yang berilmu pengetahuan melebihi daripada orang Islam lainnya yang tidak berilmu pengetahuan. Lebih dari itu, orang yang berilmu pengetahuan akan kelihatan berbeda segala-galanya dibandingkan dengan orang yang tidak berilmu pengetahuan. Allah SWT berfirman dalam Surat Az-Zumar ayat 9: “(Apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”

Guru adalah bapak rohani atau spiritual father bagi anak didiknya, yaitu memberikan santapan jiwa dengan ilmu dan pendidikan akhlak. Dengan ilmu dan akhlak diharapkan anak didik mampu mencapai tingkat kedewasaan sehingga menjadi insan kamil yang mampu melaksanakan tugas hidupnya sebagai khalifah di muka bumi dengan baik.

Memperhatikan fungsi, peranan, kedudukan, serta tugas dan tanggung jawab guru yang yang sangat penting, berat, dan mulia dalam menyukseskan keberhasilan terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, maka sudah sewajarnya guru dihargai dan dihormati dengan sebaik-baiknya. Penghargaan dan penghormatan ini bukan semata-mata karena “guru juga manusia”, akan tetapi disebabkan kedudukan yang mulia dan sangat terhormat yang akan membawa kondisi manusia Indonesia ke arah yang lebih baik.

Mari kita mencoba untuk menengok bangsa lain. Setelah Hirosima dan Nagasaki dibom atom oleh Sekutu tahun 1945, segera Kaisar Hirohito mengumpulkan para pejabat negara dan bertanya' "Berapa orang guru yang masih tersisa di negeri kita?". Pada tahun 1957, ketika pesawat Sputnik dari Rusia sukses diluncurkan, masyarakat Amerika Serikat heboh karena merasa tertinggal. John F Kennedy yang kala itu masih Senator bertanya, "What's wrong with our classrooms?" Atau sejenak lihat pula betapa Presiden Vietnam memberikan suatu statement di hadapan para pembantunya dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan negaranya,"No Teacher, No Education". Tidak ada guru, tidak ada pendidikan. Begitulah guru dan pendidikan di negara maju, senantiasa berada pada top of mind para pemimpin dan masyarakatnya.

Nah, sekarang bagaimana dengan Negara Indonesia? Di Indonesia, penghargaan terhadap guru mengalami ‘grafik pasang’ alias kecenderungan ‘naik’. Pada jaman penjajahan, profesi guru merupakan profesi yang ‘disepelekan’. Ketika Pemerintah Belanda pada pertengahan abad ke-19 mulai mendirikan sekolah kejuruan (vakscholen), anak kalangan priyayi dan orang pribumi kaya lebih tertarik kepada "Sekolah Radja" (Hoofdenscholen/Sekolah Calon Pegawai Sipil Pribumi) ketimbang masuk Sekolah Pelatihan Guru Pribumi (Kweekschool). Sebab, guru dianggap sebuah karier yang tidak prestisius dan menjanjikan. Kecenderungan itu tampaknya terus berlanjut sehingga kebanyakan siswa berprestasi tidak tertarik masuk lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Semua ini berdampak buruk pada kompetensi guru, ditandai oleh rendahnya penguasaan materi dan metodologi pembelajaran, kurangnya kematangan emosional dan kemandirian berpikir, serta lemahnya motivasi dan dedikasi. Selanjutnya, pekerjaan sebagai guru tertinggal dan tidak seistimewa profesi lain.
Memasuki Orde Lama dan Orde Baru, perhatian pemerintah masih kurang begitu besar terhadap guru. Guru masih ‘agak dianaktirikan’ dibanding dengan profesi lain. Guru masih dianggap ‘kelas dua’. Bahkan ada seloroh yang mengatakan bahwa jika seorang gadis menangis, maka untuk menghentikan tangisannya, si orangtua gadis mengancam anaknya akan dikawinkan dengan guru. Mendengar ancaman tersebut, gadis itu seketika berhenti menangis. Atau pernah suatu saat penulis bertanya kepada para siswa yang ada di suatu kelas tentang cita-cita mereka, dari 35 orang siswa, hanya ada dua orang yang bercita-cita ingin menjadi guru.

Pada perkembangannya kemudian, baru setelah ada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 dan Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) No. 14 tahun 2005, profesi guru semakin dihargai dan dihormati. Kesejahteraan guru semakin meningkat dan diperhatikan. Terutama dalam UUGD, guru semakin dituntut untuk meningkatkan kompetensi, kualifikasi, dan disertifikasi sehingga pada akhirnya guru akan mendapatkan sertifikat pendidik sebagai tanda bahwa ia seorang guru yang sudah profesional. Secara otomatis jika sudah mendapatkan sertifikat pendidik, maka guru berhak untuk mendapatkan tunjangan profesi.

Maka tak berlebihan jika setelah adanya UU Sisdiknas dan UUGD, profesi guru semakin diminati dan diburu. Hampir di semua perguruan tinggi negeri dan swasta yang membuka fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, program studi pendidikan/keguruan peminatnya membludak. Hal ini menjadi buklti bahwa keberadaan guru semakin eksis dan diperhitungkan.

Dengan adanya perhatian pemerintah dan masyarakat yang semakin besar, kini tiba saatnya bagi para guru untuk lebih meningkatkan kompetensi dan profesionalitasnya. Jadilah guru yang bermutu. Guru yang tidak memandang apakah ia sudah disertifikasi atau belum, yang penting didiklah anak-anak dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Hindari cara mendidik dengan menghardik, jauhi cara mengajar dengan menghajar, tidak ada dalam diri guru teknik membimbing dengan “nampiling”, anak didik bukan dipukul tetapi mereka harus dirangkul.

Dalam hal proses pembelajaran, hindari cara mengajar “Chalk and Talk”, hampir setiap pertemuan di kelas hanya menulis dan berbicara (ceramah). Guru bukanlah profesi yang mendapat panggilan Bapak/Ibu ‘Ambeyen’, yaitu guru yang hanya duduk di belakang meja guru tanpa ada aktivitas variasi gerak dalam mengajar. Tidak patut guru disebut sebagai ‘tukang obat’ (terus-terusan menggunakan metode ceramah), tanpa adanya variasi metode. Atau sangat janggal jika bapak guru mendapat julukan “Guru Peci” (bagi guru yang berpeci), artinya ketika mengajar hanya pecinya saja yang ada di atas meja guru sedangkan gurunya tidak ada di dalam kelas, ia keluar kelas tanpa menghiraukan anak didik yang sedang belajar.

Ingatlah selalu bahwa mengajar bukan hanya transfer of knowledge (pengalihan pengetahuan), tetapi lebih dari itu mengajar merupakan transfer of values (pengalihan nilai), tentunya nilai-nilai kebaikan bukan nilai-nilai keburukan. Pertanggungjawaban mendidik bukan hanya di dunia, akan tetapi juga di akhirat kelak. Jadilah Guru Indonesia yang amanah, bertanggung jawab, aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan. Selamat Hari Jadi Guru.