THE LIGHT OF AL-QUR'AN

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

MY SCHOOL LAST TIME

MY PHOTOS

Rabu, 04 Maret 2009

IQ RAPUH TANPA EQ DAN SQ (Belajar dari Kisah Dua David)

Minggu-minggu ini, nama David Hartanto Wijaya tiba-tiba mencuat di berbagai media dalam dan luar negeri. Ia adalah salah seorang mahasiswa Nanyang Technological University (NTU) Singapura yang berasal dari Indonesia (Alumni SMA Kristen I BPK Penabur Jakarta). Hari Senin, tanggal 2 Maret 2009, David nekad bunuh diri dengan melompat dari lantai empat setelah terlebih dahulu menusuk lengan dan punggung profesor pembimbing skripsinya.

Seperti diberitakan di media online 'The Straits Times dan The Asia One', seorang mahasiswa Indonesia yang belajar di Singapura, nekat menikam dosen pembimbingnya. Mahasiswa yang bernama David Hartanto Wijaya kemudian nekat bunuh diri. David dikenal sebagai mahasiswa yang cemerlang, dia pernah mewakili Indonesia dalam ajang Olympiade Matematika di Mexiko tahun 2005. Kehidupan David Hartanto Wijaya berujung tragis. Alumni SMAK I Penabur, Jakarta yang kuliah di Nanyang Technological University (NTU), Singapura tewas mengenaskan di halaman kampus setelah sebelumnya menikam dosen pembimbingnya untuk tugas akhir, Profesor Chan Kap Luk. Beruntung nyawa profesor yang juga menjabat wakil direktur Pusat Riset Teknik Biomedis dapat diselamatkan. Usai menikam, David yang diduga stress dalam mengerjakan tugas akhir, mengiris pergelangan tangannya. Kemudian ia nekat terjun dari lantai 4. Tugas akhir David masuk dalam peringkat ketiga terbaik di kampusnya, namun tugas tersebut membutuhkan kemampuan matematika yang kuat. Diduga David nekat menyerang dan bunuh diri karena tertekan akibat mengerjakan tugas akhir yang berat.

Motif bunuh diri yang dilakukan mahasiswa Nanyang Technological University (NTU) Singapura asal Indonesia, David Hartanto Widjaja, diduga terkait beasiswa yang dia terima. David diketahui telah tiga kali mendapat peringatan tertulis mengenai masa depan beasiswanya dari pihak kampus. Dalam peringatan yang diberikan tahun lalu itu, pihak kampus menuntut David berusaha memperbaiki nilai akademiknya yang menurun jika tidak ingin kehilangan beasiswa. Seperti yang dilaporkan The New Paper, semua salinan surat peringatan itu dikirim ke orangtua David di Jakarta. Kemudian, dua pekan lalu David akhirnya kehilangan beasiswa ASEAN. Sebenarnya, David telah menerima beasiswa ASEAN untuk belajar di NTU sejak empat tahun lalu. Beasiswa itu menanggung semua biaya kuliah David dan uang saku tahunan sebesar 5.800 dolar Singapura.”Beasiswa ASEAN untuk David dicabut awal tahun ini karena nilai-nilainya di bawah indeks prestasi akademik 3,5,” ungkap seorang juru bicara NTU yang tidak disebutkan namanya. Pihak fakultas telah meminta David mencari bantuan namun tidak dilakukan. Pihak NTU selanjutnya menyarankan David mengajukan permohonan pinjaman untuk membayar uang kuliah bila dia mengalami kesulitan keuangan. Padahal, beasiswa ASEAN sebenarnya tidak memberi persyaratan yang berat dan tidak ada penalti bagi penerima bila beasiswanya dicabut. Syaratnya hanya mencapai nilai standar, yaitu indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,5 untuk setiap semester atau setara dengan nilai B. Selain motif beasiswa, beberapa mahasiswa menyebut kemungkinan besar David mengalami tingkat stres yang tinggi karena menjadi mahasiswa teknik. Salah satu mahasiswa, Wise Guy, mengakui, menjadi mahasiswa teknik sangat sulit dan membuat gelisah setiap saat. ”Perkuliahan yang sering diadakan, laporan laboratorium, proyek-proyek, dan laporan hingga kehidupan sosial. Stres bisa menghampiri kapan saja. Pada saat itulah Anda harus bisa mengatasinya,” demikian yang dia tuliskan.

Malang dan tragis nian nasib David Hartanto Wijaya, salah seorang mahasiswa NTU yang kemampuan intelektual (IQ)-nya dikenal cerdas. Kemalangan dan ketragisan David Hartanto mengingatkan kembali akan peristiwa yang hampir sama yang menimpa David Pologruto di Florida Amerika Serikat. Bedanya David Hartanto menusuk dosen pembimbingnya, sedangkan David Pologruto (seorang guru) yang ditusuk oleh siswanya. Cerita faktual ini dikemukakan oleh Daniel Goleman, dalam bukunya "Working with Emotional Intellegence (1999)."

Sebuah nasib tragis guru Fisika yang bernama David Pologruto di SMU Coral Springs Florida Amerika Serikat. Ia ditusuk dengan sebilah pisau dapur oleh salah seorang siswa yang terpandai di kelasnya. Ceritanya, Jason, siswa terpandai yang biasanya selalu mendapatkan nilai A, bercita-cita masuk fakultas kedokteran, bahkan ia memimpikan Harvad. Tapi guru Fisikanya, David, memberi Jason nilai 80 pada sebuah tes. Karena yakin bahwa nilai itu yang hanya B akan menghalang-halangi cita-citanya, Jason membawa sebilah pisau dapur ke sekolah dan dalam suatu pertengkaran dengan gurunya di laboratorium Fisika, ia menusuk gurunya di tulang selangka, dan gurunya tewas seketika.

Dua peristiwa yang melibatkan dua nama David di atas menyiratkan pesan ambigu: Bagaimana mungkin seorang mahasiswa David Hartanto yang dikenal cerdas justru menikam dosen pembimbingnya dan mengakhiri hidup dengan bunuh diri? Bagaimana mungkin siswa Jason yang otaknya pintar justru menusuk guru Fisikanya dengan sebilah pisau dapur?

Jawabannya: kecerdasan intelektual (IQ) sedikit saja kaitannya dengan kehidupan emosional. Inilah argumen epistemologis Goleman untuk menggeser paradigma Intellegence Quotient (IQ) ke arah paradigma Emotional Quotient (EQ). Berbagai temuan riset baru dipaparkan Goleman sekedar untuk menegaskan bahwa EQ dapat sama ampuhnya dan terkadang lebih ampuh daripada IQ. Bahkan dengan memanfaatkan penelitian yang menggemparkan tentang otak dan perilaku, ia memperlihatkan faktor-faktor yang terkait mengapa orang yang ber-IQ tinggi gagal, dan orang yang ber-IQ sedang-sedang saja atau rendah menjadi sukses. Faktor-faktor ini mengacu kepada cara lain untuk menjadi cerdas. Cara yang disebutnya Kecerdasan Emosional (EQ). David Hartanto yang labil emosinya sehingga stress karena beasiswanya dihentikan dan nilainya yang kurang serta beratnya beban menyelesaikan tugas akhir atau labilnya emosi Jason sehingga ia menusuk gurunya dengan pisau, membuktikan bahwa peran EQ sangat ampuh dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan kehidupan. Jika setiap permasalahan dihadapi dengan tenang dan selalu dianggap menjadi sebuah tantangan, niscaya akan 'enjoy' menyelesaikannya.

Peristiwa tersebut juga membuktikan bahwa jenis kecerdasan tidaklah tunggal dan monolitik: IQ an sich. Bahkan jauh sebelumnya Howard Garner (1989) pun sudah mengurai Multiple Intellegences, sebuah spektrum kecerdasan yang berwajah plural, mulai dari dari kecerdasan akademis, musik, olahraga, natural, spasial, intrapersonal, sampai inter personal.

Namun demikian banyak orang yang menyangsikan akan ampuhnya kecerdasan emosional, mereka seringkali menyatakan agak aneh bagaimana membawa kecerdasan pada emosi? Karena fakta selama ini seringkali bicara: "emosi membawa kita kepada amarah". Amarah itu sendiri menjerumuskan orang pada sikap dan perilaku tidak terpuji. Amarah mematikan nalar dan intelektual yang secara otomatis akan membunuh potensi IQ sendiri.

EQ ini tidak sekedar dikenali, tapi lebih lanjut perlu disadari eksistensinya dalam mempengaruhi kehidupan emosional kita. Dengan menyadarinya, kita tak lagi dikuasai atau diperbudak emosi, tapi justru sebaliknya, kita dapat menguasai emosi. Itulah sebabnya paradigma EQ lebih mengacu pada kesadaran diri untuk mengendalikan emosi. Bayangkan jika emosi tak terkendali, orang biasanya selalu marah-marah, padahal sikap marah-marah akan merugikan sendiri dan orang lain. Disinilah ampuhnya EQ ketimbang IQ. Dalam praktek kerja sehari-hari, keampuhan EQ itu begitu terasa. Penuh motivasi dan kesadaran diri, empati, simpati, bersolidaritas tinggi dan penuh dengan kehangatan emosional dalam interaksi kerja.

Keampuhan EQ akan lemah dengan sendirinya dan tanpa berarti apa-apa tanpa adanya dorongan dan kekuatan kecerdasan yang lain yang paling utama, yaitu Spiritual Quotient (SQ). Seorang David Hartanto dan Jason yang otaknya 'encer', akan selalu berada pada tataran pengendalian diri yang stabil dan penghayatan religius yang mantap, apabila eksistensi kesadaran diri dan kedekatannya dengan Ilahi (Tuhan) muncul. Dengan kejadian tragis di atas, perlu dipertanyakan sampai sejauhmana kecerdasasan spiritual mereka berdua terasah. Jika manusia memiliki kepercayaan dan kedekatan terhadap Tuhan dengan baik dan kuat, tidaklah mungkin mereka melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Tidak mungkin mereka akan bunuh diri, stress, putus asa, merampok, korupsi, mencopet, mencuri, berzina, dan sebagainya. Kedekatan dengan Tuhan akan membawa manusia pada ketenangan dan kedamaian hatinya. ”Ingatlah, hanya dengan berdzikir kepada Allah hati menjadi tenang” (Ar-Ra’d: 28).

"SQ is the necessary foundation for the effective functioning of both IQ and EQ. It is our ultimate intelligence", kata Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya 'Spiritual Intellegence, The Ultimate Intellegence (2000)'. Bayangkan, SQ adalah puncak kecerdasan. Hakikat sejati SQ disandarkan pada the soul's intelligence. Kecerdasan jiwa, hati, yang menjadi intisari SQ. Karena itu pekik SQ adalah suara hati (conscience). Suara yang paling jernih dalam hiruk pikuk kehidupan, yang tak bisa ditipu oleh siapapun, termasuk diri manusia sendiri. SQ hanya berada pada prototype manusia yang bersih secara spiritual. Kodrat SQ adalah in its self (fitrah). Dalam terminologi agama, disebut Nafsu Muthmainnah, jiwa yang damai dan tenang, yang bisa menjalin kontak spiritual dengan Tuhan.

Jadi ajakan terakhir penulis adalah marilah kita olah otak, olah rasa, olah hati, dan olah raga, supaya hidup ini stabil dan selalu berada dalam jalan Tuhan. Semoga. Amin.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

oi bangsat jangan asal ngomong deh, emg EQ lo tinggi apa? lo tu emg IQ jongkok, jadi ngata2in org ber IQ tinggi, trus berita david bunuh diri aja cuman spekulasi pers, jangan asal menyimpulkan

Anonim mengatakan...

Orang2 bergelar Prof belum tentu punya kecerdasan emosi dan spiritual yg seimbang dengan intelegensinya. Bisa saja seorang Prof melakukan tindak kriminal. Ini lebih berbahaya karena tidak mudah diterka oleh jalan pemikiran orang biasa.
Sebuah tantangan bagi tim CSI Singapore untuk bisa mengusut tuntas kasus ini.
Sir Arthur Conan Doyle telah menggambarkan bagaimana detektif Sherlock Holmes harus menghadapi kelicikan Prof Moriarty.

Anonim mengatakan...

Maaf saudaraku kata2 "Oi Bangsat", itu adalah kata-kata yang biasanya keluar dari orang yang memiliki EQ jongkok, alias rendah. Sesungguhnya tulisan itu sekedar mengingatkan kita bahwa ada kecerdasan lain yang selama ini diabaikan. Seperti Anda ini IQ Anda mungkin tinggi, tapi bila Anda memiliki EQ tinggi pasti Anda takkan mengeluarkan kata2 "bangsat". Maafkan saya. Saya tdk bermaksud melecehkan Anda, tapi sekedar menunjukan contoh orang yang EQ nya rendah. Terima kasih penulis.Wassalam. JS